Nasional

Inilah Arsitek Intelektual Pesantren Nusantara

NU Online  ·  Ahad, 2 Desember 2018 | 07:00 WIB

Inilah Arsitek Intelektual Pesantren Nusantara

Kajian Islam Nusantara di rumah Prof Abdurrahman Mas'ud Jakarta

Jakarta, NU Online
Dalam disertasi yang ditulis oleh Abdurrahman Mas’ud Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, menjelaskan bahwa perkembangan pesantren yang hingga kini masih eksis dengan mengajarkan nilai-nilai keislaman yang moderat dan toleran, tak lepas dari peran para arsitek pesantren Nusantara. 

“Dakwah yang dikembangkan oleh ulama-ulama seperti para sufi Jawa itu sangat hebat, canggih, dan brilian. Mereka mampu menyerap elemen-elemen dalam dan luar, tapi tetap berdiri di atas prinsip-prinsip keislaman,” terang Abdurrahman dalam kajian rutin Islam Nusantara Center yang dihelat di kediamannya Jl. Bambu Petung, Cipayung, Jakarta Timur, Sabtu (1/12). 

Zainul Milal Bizawie turut memaparkan bahwa dalam disertasi tersebut terdapat 5 kategori ulama yang menjadi arsitek pesantren yang memiliki perannya masing-masing. Pertama, kategori multidisipilin keilmuan, yang dicontohkan dengan sosok Syekh Nawawi Al-Bantani yang merupakan ahli hadits, fiqih, tafsir, dan lainnya.

“Syekh Nawawi inilah sosok yang menjadi titik penghubung antara abad ke 18 dan 19 karena memiliki banyak disiplin keilmuan,” jelas penulis buku Masterpice Islam Nusantara itu.

Kedua, kategori ilmu khusus, yang dinisbatkan dalam disertasi Abdurrahman pada Syaikh Mahfud At-Termasi dengan keahliannya dalam bidang hadits. “Meski ia memiliki banyak ilmu, tapi di sini spesifikasi yang dimiliki oleh beliau adalah ahli hadits,” terangnya.

Ketiga, kategori ulama yang memilki hikmah. Dalam kategori ini Mbah Kholil Bangkalan merupakan sosok ulama yang mewakilinya, sebab tiap kali para santri usai belajar di Haramain, Syaikh Nawawi selalu menganjurkan untuk nyantri dulu ke Mbah Kholil, mengenai metode dakwah yang baik sebelum terjun ke masyarakat. 

“Mbah Kholil ini yang selalu mengajarkan akhlak yang baik, seperti yang tercermin pada murid-muridnya yakni Kiai Haji Raden Asnawi Kudus dan Kiai Saleh Darat yang berdakwah dengan cara-cara umum dan menekankan aspek kelokalan,” tuturnya.

Keempat, kategori ulama yang sering berkeliling ke daerah. Dalam kategori ini, disertasi Abdurrahaman menyebutkan Haji Raden Asnawi Kudus lah sebagai sosok yang akrab dengan masyarakat karena sering berkunjung ke daerah-daerah untuk berdakwah. 

Kelima, kategori ulama pergerakan. Dalam hal ini adalah Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Meskipun beliau memiliki banyak cabang keilmuan tapi ulama yang paling mewakili dalam kategori pergerakan adalah Mbah Hasyim. 

“Hal ini bisa dilihat dari kiprahnya pascakemerdekaan, hingga mendirikan NU yang merupakan organisasi terbesar di Indonesia,” terangnya. 

Dari kelima kategori tersebut, Gus Milal juga mengomentari bahwa disertasi yang ditulis oleh Abdurrahman Mas’ud sangat tepat, sebab pesantren pada tahun 1990 sangat luput dari perhatian para akademisi.

“Disertasi Pak Dur ini menengahi dua disertasi yang ditulis oleh Azyumarsdi Azra dengan jejaring ulama-nya dan Zamakhsyari Dhofier dengan tradisi pesantrennya,” imbuhnya. (Nuri Farikhatin/Muiz)