Nasional

Inilah Filosofi dalam Tradisi Halal Bihalal

Sen, 1 Agustus 2016 | 00:30 WIB

Pringsewu, NU Online
Di Indonesia, bulan Syawwal identik dengan tradisi halal bihalal di mana setiap orang saling bersilaturahim mengungkapkan kebahagiaan hari raya sekaligus saling maaf-memaafkan dosa antarsesama. Tradisi ini merupakan khazanah budaya Islami di Nusantara yang merupakan warisan para wali dan ulama salafus shalih.

"Jika dicari di Qur’an dan Hadits tidak ada Istilah halal bihalal. Namun ini tidak berarti budaya ini tidak sesuai dengan Ajaran Islam. Intisari dari halal bihalal adalah silaturahmi dan ini merupakan sunnah Nabi," kata Ketua PCNU Kabupaten Pringsewu H Taufiqurrohim, Ahad ( 31/7).

Ia menjelaskan bahwa tradisi ini sudah ada sejak tahun 1700-an saat Nusantara Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan. Tradisi ini kemudian diformulasikan sedemikian rupa sehingga nuansa Islami hadir dalam tradisi tersebut.

"Itulah kearifan para wali dan ulama Nusantara. Kehadiran mereka selalu dapat memberikan hikmah dan pencerahan tanpa perpecahan. Kalau zaman dulu para wali banyak yang mengislamkan orang-orang kafir. Namun pada zaman sekarang ini banyak orang malah mengkafirkan orang Islam," tegasnya saat kegiatan halal bihalal PCNU Pringsewu sekaligus Ngaji Ahad Pagi (Jihad Pagi) di Gedung NU Pringsewu, Lampung.

Mas Taufiq, begitu ia biasa dipanggil menjelaskan pula bahwa banyak sekali makna filosofis yang terkandung dalam tradisi halal bihalal di Indonesia. Di antaranya ia mencontohkan penggunaan bahasa Arab pada beberapa aspek seperti makanan yang sering disuguhkan pada saat halal bihalal.

"Ketan aslinya khatiun maknanya kesalahan, apem aslinya ‘afwun maknanya memaafkan, keluban aslinya qulubana maknanya hati untuk saling memaafkan dan masih banyak lainnya," katanya.

Makna filosofis juga banyak terkandung pada menu makanan khas yang sering disuguhkan pada halal bihalal di setiap hari rayanya yaitu ketupat. "Ketupat itu ngaku lepat atau mengakui kesalahan. Bentuknya segi empat yang menunjukkan prinsip yang harus dilakukan saat halal bihalal yaitu lebar atau selesai, luber atau menyebar, lebur atau terhapus dan labur atau putih bersih," jelasnya.

Ketupat, tambahnya, dibuat dari anyaman daun kepala yang masih muda yang dinamai Janur. "Janur berasal dari bahasa Arab yaitu ja'a-n-nur yang berarti telah datang cahaya," jelasnya.

Oleh karenanya filosofi yang luhur dari hal-hal tersebut harus dipertahankan dan diwariskan kepada para generasi penerus agar Islam di Nusantara tetap ada. (Muhammad Faizin/Mahbib)