Nasional

Intoleransi Lahir dari Pemahaman Agama yang Keliru

Sen, 29 Juni 2020 | 09:30 WIB

Intoleransi Lahir dari Pemahaman Agama yang Keliru

Wakil Direktur Eksekutif International Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Khariri Makmun. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Wakil Direktur Eksekutif International Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Khariri Makmun mengatakan bahwa sikap intoleran kerap lahir dari pemahaman agama yang keliru. Kekeliruan dalam memahami agama, kerap kali ia temukan pada seseorang yang memaksa memahami teks Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan tanpa memiliki ilmu yang cukup, di samping karena tidak memiliki guru dengan sanad keilmuan yang baik.


Fenomena ‘memaksakan diri’ ini menurutnya berbahaya dalam konteks agama. Sebab kerap kali langsung merujuk pada Al-Quran dan Al-Hadits tanpa melalui tafsir dan penjelasan para ulama. Parahnya, lanjut dia, sebagian mereka mendikotomikan pendapat para ulama dengan mengatakan bahwa ijtihad pendapat-pendapat ulama itu bukan berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
 

“Makanya mereka yang mengambil langsung dari sumbernya Al-Qur’an dan Al-Hadits akan berhadapan dengan masalah yang lebih sulit. Karena kemampuan mereka di dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits saja sebetulnya tidak sampai, tapi dia memaksakan diri,” katanya di Jakarta, Ahad (28/6).


Kelompok orang yang biasa melakukan ‘bay-pass’ sanad keilmuan ini umumnya tidak ditemukan di kalangan penganut Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah. Sebab kalangan Aswaja, diajarkan mencari pemahaman dari kitab-kitab karya para ulama. Karena pada kitab tersebut terdapat pendapat ulama yang dianggap lebih kredibel dan punya kemampuan dalam memahami ayat-ayat Allah dan hadits Nabi Muhammad SAW.


Lebih lanjut, Khariri menjelaskan, dari pemahaman yang dangkal dan kebiasaan ‘by-pass’ dalil inilah lahir upaya yang serta merta membenturkan agama dan negara. Sebab secara garis besar, seseorang yang bisa memahami agama itu dengan benar, akan mengetahui keselarasan nilai agama yang terkandung dalam Al-Quran dan nilai-nilai yang tertanam dalam Pancasila.


“Di dalam Pancasila ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang itu sebetulnya tauhid, kemudian sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab itu ‘al insaniyah’, kemudian sila Persatuan Indonesia yang di dalam Al Qur’an disebut ‘wa'tasimu bihablillahi jami'an wala tafarraqu’ yang artinya kita bersatu jangan tercerai berai. Lalu sila keempat itu permusyawaratan perwakilan itu ‘as-syura’ yang dalam Al Quran itu artinya Musyawarah. Juga sila Keadilan Sosial adalah ‘al adalah’ yang artinya keadilan” ujarnya menjelaskan.
 

Dengan adanya penjelasan yang tercermin di dalam Al Quran tersebut maka Khariri menuturkan bahwa rumusan-rumusan Pancasila itu sudah selaras dengan maqashidu asy-shyariah dengan tujuan-tujuan agama.


Namun demikian, ia memandang bahwa sebagian besar kelompok yang kerap membenturkan agama dan Pancasila merupakan korban dari propaganda yang keliru yang perlu dibantu untuk memahami Al-Quran dan Al-Hadits dengan lebih baik.


“Orang-orang ini ini sebetulnya adalah korban dari indoktrinasi jadi perlu diajak dialog. Saya sendiri sebagai dosen, saya mengajarkan mulai dari mahasiswa di semester pertama ada materi tentang intoleran lalu bagaimana kita menghadapi intoleran itu sehingga kita bisa menjadi toleran. Kita juga berikan kepada mereka bagaimana pemahaman yang benar. Khususnya dalam konteks beragama di Indonesia,” katanya.


Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan membuka ruang dialog sebesar-besarnya. Dialog merupakan metode yang sangat efektif untuk memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai keselarasan nilai agama dan negara.


Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin