Nasional

Islam Nusantara Harus Dijadikan Subjek, Bukan Objek

Jum, 13 September 2019 | 11:45 WIB

Islam Nusantara Harus Dijadikan Subjek, Bukan Objek

Sejarahwan Islam Nusantara Zainul Milal Bizawie saat mengisi Studium General Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jumat (13/9). (NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online
Wacana Islam Nusantara terus menggaung semenjak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjadikannya sebagai tema besar dalam Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur tahun 2015 lalu.

Islam Nusantara kemudian menjadi sebuah program studi khusus yang mengkaji secara keilmuannya. Karenanya, sejarahwan Islam Nusantara Zainul Milal Bizawie mengungkapkan bahwa Islam Nusantara bukan sekadar objek kajian penelitian.

“Unusia harus menjadikan Islam Nusantara tidak menjadi objek penelitiannya. Islam Nusantara harus menjadi subjeknya, cara menelitinya, cara pandangnya,” ujarnya saat studium general dengan tema Menemukan dan Menyusun Peta Peradaban Islam Nusantara di Aula Lantai 4 Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Jalan Taman Amir Hamzah, Pegangsaan, Jakarta Pusat, Jumat (13/9)

Menurutnya, Islam Nusantara di mata mahasiswa Unusia merupakan manhaj dan paradigma dalam meneliti suatu objek kajian. Ia mengatakan bahwa banyak sekali lapangan penelitian Islam Nusantara, seperti pesantren, kesultanan, folklore, legenda, dan berbagai macam lainnya.

Oleh karena itu, Gus Milal, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa mahasiswa Unusia dalam hal ini harus memiliki perspektif yang berbeda dari lainnya. “Kita harus memiliki perspektif yang beda, paling tidak perspektif santri,” ujarnya.

Lebih lanjut, pria asal Pati, Jawa Tengah itu juga mengungkapkan bahwa tantangan mahasiswa Islam Nusantara saat ini adalah kredo ilmiah Barat yang tidak memasukkan cerita lisan dan mimpi sebagai satu kajian ilmiah.

“Kalau kita hanya mendasari cerita dan mimpi kan tidak masuk ilmiah. Ini menjadi tantangan kita. Yang penting kita punya perspektif berbeda,” katanya.

Melihat hal demikian, ia jadi teringat KH Abdurrahman Wahid yang pernah menyampaikan dunia intelektual terjebak pada literatur. “Bila tidak dari literatur dianggap tidak memenuhi standar ilmiah, kita harus menciptakan literaturnya sendiri,” ungkapnya mengutip pernyataan Gus Dur.

Oleh karena itu, dalam melakukan kajian Islam Nusantara dan dalam rangka menemukan peta peradaban Islam Nusantara, mahasiswa dan para pengkajinya harus mencari dokumen-dokumen dan bukti-bukti di tengah masyarakat.

Hal itu juga yang dilakukan oleh Gus Dur dan Habib Luthfi dengan melakukan penemuan makam-makam baru. Dari situ, akan muncul para pengkaji dan peneliti orang yang dimakamkan di tempat yang baru ditemukan itu.

Selain Gus Milal, diskusi yang dipandu oleh pengajar Unusia Ulil Abshar Hadrawi itu juga diisi oleh Filolog Nusantara Adib Misbahul Islam. Kegiatan ini juga diikuti oleh puluhan mahasiswa Islam Nusantara dan mahasiswa Unusia dari jurusan lainnya. 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad