Nasional

Islam Nusantara Menurut Azyumardi Azra, Profesor Kelahiran Sumbar

Jum, 27 Juli 2018 | 08:15 WIB

Jakarta, NU Online
Ada kutipan menarik jika berkunjung ke Gedung Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidyatullah Jakarta tentang definisi Islam Nusantara. Kutipan tersebut berasal dari statemen Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Prof Azyumardi Azra yang ditempel pihak fakultas di tembok sekitar tangga darurat tempat lalu lalang mahasiswa.

Definisi tentang Islam Nusantara dari Azyumardi Azra itu disampaikan pada tahun 2015 lalu. Statemen doktor lulusan Columbia University AS ini dilapisi bahan kaca bening yang digunakan pihak fakultas untuk mempromosikan misi FAH Menuju e-Faculty Berbasis Riset dan Berkarakter Islam Nusantara.

Berikut definisi Islam Nusantara menurut Azyumardi Azra, Guru Besar kelahiran Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat 63 tahun lalu itu:

“Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fiqih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya akan warisan Islam (Islamic Legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global.” 

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat menyatakan tidak membutuhkan konsep Islam Nusantara di Ranah Minang. Pernyataan yang berisi beberapa poin penolakan konsep Islam Nusantara tersebut tertuang dalam surat resmi tanggal 21 Juli 2018 dan ditandatangani Ketua MUI Sumbar Gusrizal Gazahar.

Dalam surat keputusan tersebut tertulis "MUI Sumbar dan MUI Kabupaten/Kota se-Sumbar menyatakan tanpa ada keraguan bahwa 'Islam Nusantara' dalam konsep atau definisi apapun tidak dibutuhkan di Ranah Minang (Sumbar). Menurut Gusrizal Gazahar, nama 'Islam' telah sempurna dan tidak perlu ditambah lagi dengan embel-embel apapun".

Ada beberapa poin yang menjadi bahan pertimbangan MUI Sumbar di balik putusannya tersebut. Salah satunya, MUI Sumbar menganggap jika label 'Nusantara' untuk Islam hanya berpotensi mengotak-kotakkan umat Islam dan memunculkan pandangan negatif umat kepada saudara-saudara muslim di wilayah lain.

Di poin lain, MUI Sumbar menjelaskan, jika yang dimaksudkan 'Islam Nusantara' adalah Islam yang toleran, tidak radikal, kemudian memperhadapkan dengan kondisi Timur Tengah saat ini, maka sikap tersebut mengandung tuduhan terhadap ajaran Islam sebagai pemicu lahirnya sikap radikal dan tindakan kekerasan. 

"Ini merupakan pendzaliman terhadap Islam dan padangan yang dangkal terhadap konfllik Timur Tengah," tegas surat tersebut.

Selain itu, jika Islam Nusantara dipahami dengan dakwah yang mengacu pada ajaran dan pendekatan Wali Songo di Pulau Jawa, MUI Sumbar menganggap hal itu bisa berdampak serius ada keutuhan bangsa. Pasalnya, di berbagai daerah dalam wilayah NKRI, ada para ulama dengan pendekatan dan ajaran yang bisa berbeda dengan Wali Songo.

"Memasukkan pendekatan dan ajaran Wali Songo ke seluruh Indonesia, berarti mengecilkan peran ulama yang menyebarkan Islam di daerah lain yang memiliki karakter beragam," tulis MUI Sumbar.

Tak hanya itu, MUI Sumbar juga menganggap jika pendekatan kultural yang menjadi ciri khas 'Islam Nusantara' maka itu bukanlah monopoli 'Islam Nusantara', melainkan telah menjadi suatu karakter umum di berbagai wilayah dunia karena sikap Islam terhadap tradisi dan budaya tempatan, telah tertuang dalam kajian Ushul Fiqih secara terang.

Bahkan, jajaran ulama Sumbar di Ranah Minang yang telah menjalani pendekatan kultural telah sampai pada komitmen bersama melahirkan Sumpah Sati Bukit Marapalam dengan fasafahnya yang dipegang oleh masyarakat Minang sampai hari ini yakni Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah, Syara' Mangato, Adat Mamakai.

"Walaupun telah sampai pada titik kebersamaan tersebut namun tak namun tak seorang pun ulama Minang menambah label Islam dengan Islam Minang," sambung surat tersebut. (Fathoni)