Nasional

ISNU: Harga BBM/BBG Harus Sesuai Daya Beli Masyarakat

Sel, 14 Januari 2014 | 13:25 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) meminta pemerintah menetapkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan Bakar Gas (BBG) dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat.  Menurutnya, percuma membuat dua harga, yaitu harga subsidi dan harga komersial jika daya beli tidak meningkat.
<>
Pernyataan ini disampaikan dalam Diskusi Panel Ahli PP ISNU bertema LPG Naik, Salah Siapa? Di gedung PBNU, Selasa (14/1) yang juga dihadiri oleh Ali Mundakir (VP Corporate Communication Pertamina), Said Didu (mantan Sekretaris Menteri BUMN), dan Darmawan Prajodjo (pengamat energi).

Sebelumnya, Pertamina menaikkan harga jual LPG non subsidi tabung 12 kg sebesar 68 persen atau 3.959 per kg, yang kemudian di protes masyarakat sehingga diturunkan lagi kenaikannya hanya 1.000 per kg.

Ia menjelaskan, rakyat tetap akan kembali ke harga yang lebih murah sesuai dengan kemampuan daya beli. Dengan kata lain, potensi migrasi ke tabung elpiji 3 kg sangat besar jika harga jual non-subsidi sepenuhnya dilepaskan ke mekanisme pasar. Ujungnya subsidi meningkat.

Ia meminta agar UU Migas yang menjadi tonggak liberalisasi industri migas nasional dirombak. Dalam UU tersebut, fungsi Pertamina tidak lagi mengemban tanggung jawab pelayanan publik. Pertamina juga tidak boleh sepenuhnya komersial sesuai dengan UU tersebut karena BUMN ini istimewa dibandingkan dengan BUMN lain, yaitu menangani barang publik yang strategis karena migas bukan hanya penting bagi negara, tetapi juga menguasai hajat hidup orang banyak.

“Terlalu berisiko melepaskan ke mekanisme pasar dengan  kalkulasi bisnis komersial biasa bagi BUMN yang menangani komoditas yang strategis. Menggunakan kalkulasi bisnis biasa terbukti tidak efektif, karena toh Pertamina tetap harus menjual barang non subsidi (LPG 12 kg) di bawah harga keekonomian mengingat daya beli masyarakat.”

Kerancuan konsep saat ini, menurut Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini membuat semua pihak melanggar UU. Pemerintah melanggar UU Migas karena menganut rezim liberalisasi harga BBM/BBG yang terlarang menurut keputusan MK. Pemerintah juga melanggar UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas karena mematok rugi harga jual barang komersial Pertamina tanpa menetapkan selisihnya sebagai subsidi. Disisi lain, Pertamina juga melanggar UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas karena menjual komoditas komerasial di bawah biaya produksi yang merugikan perusahaan bertahun-tahun, padahal sebagai perseroan, Pertamina harus untung. Dan jika rugi, kerugiannya tidak bisa langsung dipotong dengan pengurangan dividen ke pemerintah karena akan mengacaukan sistem akuntansi keuangan negara.

Menurut Ali Masykur, sialng sengkarut soal penetapan harga elpiji non-subsidi ini merefleksikan kekacauan tat kelola migas nasional yang harus dirombak total, dengan konsep yang lebih sejalan dan seiring dengan konstitusi. (mukafi niam)

Foto: Antara