Nasional

Jihad Tanpa Ijtihad, Jahat

Jum, 15 Maret 2019 | 11:45 WIB

Jihad Tanpa Ijtihad, Jahat

Workshop Literasi Digital Berbasis Pesantren yang diadakan oleh Pusat Studi Pesantren (PSP)

Cilacap, NU Online
Tiga istilah dalam khasanah keislaman yang sering diperbincangkan adalah Jihad, Ijtihad dan Mujahadah. Hanya saja, pemaknaan soal jihad disebut paling banyak mengalami penyelewangan. Alih-alih diartikan sebagai upaya untuk menebar kebaikan dan mendapat ridho Tuhan, jihad justru kerap berubah menjadi sikap dan perilaku jahat. Hal itu disebabkan karena pemaknaan dan pelaksanaan jihad tidak dibarengi dengan ijtihad dan mujahadah

Islah Gusmian, Dosen di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, mengungkapkan dengan ijtihad –yang diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dan maksimal yang melibatkan aspek rasio atau akal untuk menggali hukum syariat—jihad justru akan berkontribusi untuk berbagai upaya kemajuan. Sementara dengan mujahadah, jihad akan tampak sebagai upaya untuk menepis segala bentuk kekerasan dan mendorong Islam yang menjadi berkat untuk semesta. 

Mujahadah itu adalah perjuangan rohani dengan berbagai sarana untuk menundukkan segala bentuk hawa nafsu.  Misalnya: QS. Al-Ankabut : 6,” ungkap Islah Gusmian saat berbicara di hadapan puluhan peserta workshop Literasi Digital Berbasis Pesantren yang diadakan oleh Pusat Studi Pesantren (PSP) di hotel Whiz, Cilacap, Kamis (14/3).

Lebih jauh, Islah menyebut pesantren memiliki modal yang kuat untuk membentengi negara dari berbagai ancaman kerusakan akibat penyalahgunaan makna dan gerakan jihad. Modal tersebut adalah tradisi kepenulisan, penerbitan karya-karya hasil pemikiran ulama serta tradisi akademik yang meliputi musyawarah dan metode belajar yang mengutamakan ketuntatasan, bukan kecepatan.

“Kalau belajarnya tuntas, tentu seorang Muslim akan dapat berislam dengan benar. Yakni, mampu menjadikan diri sendiri dan orang di sekitarnya aman dan nyaman. Jika tak bisa menghasilkan itu, maka ada masalah dengan caranya berislam,” jelasnya. 
Dengan modal di atas, pesantren disebutnya selalu mampu memberi pengajaran yang kontekstual, hal ini tampak dari berbagai peran yang berhasil dimainkan oleh pesantren di sepanjang sejarah bangsa ini. Pesantren selalu tampil di garda terdepan untuk turut menjaga bangsa ini dari berbagai ancaman. 

Kegiatan workshop ini sendiri dilakukan selama 4 hari mulai 14-17 Maret 2019 sebagai rangkaian dari agenda kerja PSP yang fokus mendorong keterlibatan pesantren dalam menyebarkan islam yang ramah dan menjadi berkat untuk semesta. Selain Cilacap, PSP juga akan mengadakan kegiatan serupa di beberapa kota lainnya. Di antaranya, Banyuwangi dan wilayah Tapal Kuda, Madura, Lampung, Bali dan lain sebagainya. (Khoirul Anam/Zunus)