Nasional

JPPI Nilai Sistem Zonasi PPDB Masih Diskriminatif, Pemerintah Diminta Evaluasi

Sen, 12 Juni 2023 | 15:00 WIB

JPPI Nilai Sistem Zonasi PPDB Masih Diskriminatif, Pemerintah Diminta Evaluasi

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji. (Foto: NU Online/Suci)

Jakarta, NU Online

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menggunakan sistem zonasi terus menuai kritik sejak pertama kali dikeluarkan pada tahun 2017 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji menilai sistem ini masih diskriminatif dan melanggar hak anak mendapatkan pendidikan wajib belajar selama 12 tahun.


"Sistem zonasi tujuannya supaya tidak ada lagi diskriminasi. Semua anak dapat jatah sekolah dan tidak ada perebutan sekolah favorit. Tujuan ini tak tercapai gara-gara minimnya bangku di sekolah negeri," kata Ubaid dalam diskusi Pelanggaran hak anak dalam PPDB dan Diskriminasi sekolah negeri dan swasta, di Jakarta, Ahad (11/6/2023).


Koordinator Koalisi Kawal Pendidikan Jakarta itu menyebut, sistem PPDB yang selama ini berjalan sebagai proses seleksi yang membedakan siswa sekolah negeri dan swasta. 


Ia mencontohkan DKI Jakarta, setiap tahun, ada sekitar 170 ribu anak lulusan SD dan SMP yang mendapat perlakuan diskriminatif karena tidak mendapat akses dan pelayanan yang sama dengan mereka yang diterima di PPDB. Mereka yang tidak lolos seleksi, akhirnya harus sekolah di swasta dan membayar sendiri untuk menerima pendidikan.


"Selama ada sistem seleksi maka ketidakadilan dan diskriminasi pasti ada. Karena yang dibutuhkan anak-anak adalah sekolah, bukan seleksi. Pemerintah mengaburkan hak orang tua untuk menyekolahkan atau anak mendapatkan hak pendidikan karena sibuk seleksi," jelas Ubaid.


Polemik sistem zonasi lainnya adalah pendidikan pada anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Hingga saat ini masih banyak anak berkebutuhan khusus (ABK) ditolak di sekolah umum dan selalu diarahkan agar masuk sekolah luar biasa di semua jenjang pendidikan.


"Tahun 2023 kita dapat laporan banyak anak berkebutuhan khusus (ABK) yang tidak bisa masuk jalur inklusif. Jadi, sekolah menolak anak ABK dan diminta cari sekolah yang lain," tutur Ubaid.


Dikatakan, keadilan tidak akan tercipta jika pendidikan masih menggunakan sistem zonasi. Selamanya akan ada diskriminasi terhadap anak-anak di lingkup pendidikan.


"Kami menolak sistem seleksi itu. Semua orang punya hak memilih. Sekolah itu hak, kewajiban pemerintah untuk memenuhi semuanya sebagaimana Undang-Undang 1945 dan UU Sisdiknas," tegasnya.


Masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi kawal pendidikan mendorong pemerintah mengevaluasi persoalan wajib belajar dimulai dari seleksi PPDB.


"Kami dari masyarakat sipil tidak ingin kebijakan ini terus berulang termasuk di DKI Jakarta yang memiliki anggaran cukup besar namun angka putus sekolah masih ada," pungkasnya.


Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad