Karya Sastrawan NU Pemenang Cerpen Terbaik Kompas 2015
NU Online · Rabu, 1 Juni 2016 | 00:45 WIB
Cerita pendek karya sastrawan NU Ahmad Tohari (Kang Tohari) yang berjudul “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” terpilih sebagai Pemenang Cerpen Terbaik Kompas 2015. Penganugerahan diberikan pada acara “Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2015” di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (31/5) malam.
Kang Tohari mengaku sangat terkejut dengan penganugerahan tersebut. Sebagai penulis, ia merasa Kompas terlalu berani dengan memuat cerpen itu, kemudian memasukkannya dalam Cerpen Pilihan Kompas 2015, dan sekaligus menjadi Pemenang Cerpen Terbaik 2015. Menurutnya, judul cerpen itu yang menggunakan kata ‘kencing’, memang agak kurang sopan.
Anak ini Mau Mengencingi Jakarta? yang dimuat pertama kali di Kompas, Ahad 13 September 2015, berkisah tentang sepasang gelandangan dengan seorang anak mereka yang berusia lima tahun. Mereka adalah penghuni pinggiran rel kereta api di kota Jakarta. Suatu pagi sang anak yang lapar dan ayahnya asyik menikmati sebungkus plastik mi instan rebus.
Karena sang anak ingin buang air kecil, ia langsung membuka celana dan mengarahkan kemaluannya ke dekat punggung ibunya yang masih tertidur. Oleh sang ayah, anak itu dimarahi dengan mengatakan, “Jangan kencing di situ! Nanti kena buntalan pakaian emakmu. Tadi kamu hampir kencing dekat punggung, sekarang mau kencing dekat buntalan pakaian.”
Pesan Agama
Meskipun memuat kata yang terkesan tidak sopan, cerpen ini mengandung ajaran agama yang mendalam. Dalam perbincangan dengan NU Online selepas acara, Kang Tohari menyampaikan, melalui cerpennya kali ini, ia ingin mengingatkan bahwa kita harus memelihara kepedulian terhadap orang miskin.
Ia mengatakan dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa yang termasuk orang-orang yang mendustakan agama adalah mereka yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Nabi Muhammad SAW sendiri, dalam banyak riwayat, disebutkan sangat peduli terhadap orang miskin. Juga disebutkan surga merindukan orang-orang yang memberi makan kepada mereka yang kelaparan.
Pesan berikutnya dalam cerpen ini adalah penghormatan kepada ibu, yang digambarkan dengan larangan sang ayah kepada anaknya agar sang anak tidak kencing di dekat punggung ibu atau di dekat buntalan pakaian ibunya.
Sebaliknya, cerpen tersebut justru menyentil para pejabat, pemimpin atau politikus yang tidak memiliki kepekaan kepada penderitaan rakyat kecil. Hal itu digambarkan melalui ucapan tokoh ayah, “Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan. Dengar itu?”
Menurut Kang Tohari, barangkali ada beberapa pemimpin, pejabat atau politikus yang memiliki kepekaan terhadap rakyat kecil dan kaum terpinggirkan.
“Tetapi, pemimpin dan pejabat itu terpengaruh oleh orang-orang di sekitar mereka, akhirnya hilang kepekaan mereka,” kata Kang Tohari.
Menjelang paragraf akhir pada cerpen tersebut juga diceritakan tentang gadis pramusaji cantik yang melempar sampah restoran kereta api di dekat tiga anggota keluarga di pinggiran rel itu. Sampah-sampah yang berserakan di pelataran batu koral itu berupa nasi sisa, tulang-tulang ayam goreng, ada juga paha ayam goreng yang masih utuh, potongan daging bakar. Ahmad Tohari seperti hendak mengontraskannya dengan paragraf sebelumnya tentang penghuni pinggiran rel yang mengobati rasa laparnya di pagi hari hanya dengan sebungkus mi instan. (Kendi Setiawan/Mahbib)
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua