Nasional

Katib PBNU Kiai Moqsith Jelaskan Kaidah Fiqih Peradaban di Bandung

Sen, 29 Agustus 2022 | 20:00 WIB

Katib PBNU Kiai Moqsith Jelaskan Kaidah Fiqih Peradaban di Bandung

Kiai Moqsith menjelaskan dasar-dasar fiqih peradaban di hadapan peserta di Pondok Pesantren Al-Falah, Bandung. (Foto: facebook KH Moqsith Ghazali)

Jakarta, NU Online

Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Moqsith Ghazali menjelaskan kaidah dasar fiqih peradaban. Menurutnya, fiqih peradaban tidak akan dijumpai di dalam fiqih tradisional yang dipelajari di pesantren-pesantren. Dari bab air hingga bab budak, tidak akan ditemukan keterangan tentang pembahasan mengenai peradaban. 


“Tetapi, fiqih peradaban bisa dikategorikan dalam fiqih muamalah. Dalam fikih muamalah, kaidah dasarnya adalah ‘adamud dalil huwad dalil, tidak adanya dalil adalah dalil tentang kebolehannya,” ungkap Kiai Moqsith dalam Halaqah Fiqih Peradaban Kedua yang digelar di Pesantren Al-Falah, Nagreg, Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu (27/8/2022). Penjelasan ini sebagaimana keterangan tertulis yang diterima NU Online, pada Senin (29/8/2022). 


Kiai Moqsith lantas memberikan contoh sederhana bahwa tidak ada dalil dari Nabi Muhammad yang eksplisit membolehkan atau melarang memakai seragam Muslimat NU. Begitu pula, tidak ada dalil yang eksplisit melarang dan membolehkan sistem demokrasi. 


“Soal pakaian dan demokrasi itu bagian dari wilayah muamalah, maka berlaku kaidah ‘adamud dalil huwad dalil. Karena tak ada dalil yang melarang soal seragam atau demokrasi, itu menandakan kebolehan dua hal itu,” tutur Kiai Moqsith. 


Namun, hal tersebut berbeda dengan persoalan ibadah. Sebab di dalam wilayah ubudiyah, jika tidak ada dalil yang memerintahkan sesuatu, maka sesuatu itu tidak boleh dilakukan. Sebagai contoh, Kiai Moqsith menjelaskan bahwa tidak ada dalil yang menyuruh shalat subuh empat rakaat. 


“Dengan demikian, shalat subuh empat rakaat tidak boleh. Karena kaidah dalam ibadah adalah harus mengikuti contoh dari Nabi,” imbuh Kiai Moqsith. 


Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Rosihon Anwar menguraikan tentang teks-teks dalam agama yang rentan disalahgunakan untuk membenarkan kekerasan dan diskriminasi.


Rosihon kemudian mencontohkan kata ‘wahum shaghirun’ yang terdapat dalam Surat At-Taubah ayat 29 tentang kewajiban membayar jizyah bagi orang-orang kafir dalam negara Islam di zaman dulu. 


“Kata wahum shaghirun yang artinya: orang-orang kafir harus membayar pajak dalam keadaan mereka rendah kedudukannya itu bisa dimaknai begitu rupa sehingga bisa membenarkan tindakan diskriminasi kepada orang-orang non-Muslim,” tutur Rosihon. 


“Karena itu, wacana fiqih peradaban diperlukan untuk menangkal tafsir-tafsir keagamaan yang tidak kontekstual,” imbuh pria yang juga menjabat Wakil Ketua PWNU Jawa Barat itu. 


Sebagai informasi, halaqah ini terdapat dua sesi. Kiai Moqsith dan Rosihon adalah pembicara pada sesi kedua. Sementara pembicara pada sesi pertama adalah Ketua Lakpesdam PBNU KH Ulil Abshar Abdalla dan Wakil Ketua PWNU Jawa Barat Kang Asep Salahuddin. 


Halaqah Fiqih Peradaban merupakan agenda yang menjadi rangkaian Peringatan Harlah Satu Abad NU. Halaqah ini akan digelar di 250 titik se-Indonesia dan puncaknya akan digelar Muktamar Internasional Fiqih Peradaban pada Januari 2023. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Alhafiz Kurniawan