Nasional

Kekuatan Media Visual Jadi Pemicu Ekstremisme Perempuan

Sel, 28 Juli 2020 | 10:00 WIB

Kekuatan Media Visual Jadi Pemicu Ekstremisme Perempuan

Diskusi tentang Terorisme dan Perempuan oleh 164 Channel. (Foto: Dok. 164 Channnel)

Jakarta, NU Online
Anggota Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan, kekuatan media visual yang mengedepankan aspek perasaan daripada aspek rasional menjadi salah satu faktor atau pemicu ekstremisme dari kalangan perempuan.


“Ini sangat mempengaruhi bagi yang melihatnya,” ungkap Prof Alim dalam acara Peci dan Kopi yang disiarkan oleh 164 Channel, Senin (27/7). Diskusi tersebut bertema ‘Ada Apa di Balik Keterlibatan Perempuan dalam Tindakan Teror’.


Selain itu, lanjut dia, karena dalih persaudaraan dan muslim terzalimi yang digunakan untuk menarasikan pengaruhnya. Dalam kajian kekerasan ekstrem, perempuan tidak hanya dilihat sebagai pendukung. Akan tetapi, juga sebagai pelaku.


“Misalnya dalam kasus Dian Yulia Novi dan juga 11 perempuan lainnya yang dipenjara, merupakan bukti bahwa perempuan juga menjadi pelaku,” jelas Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.


Mengenai alasan perempuan masuk dalam lingkaran kekerasan yang ekstrem, ia menyebutkan, penyebabnya adalah jumlah lelaki yang berperang semakin berkurang, sehingga terpaksa perempuan diikutkan.


Selain itu, adanya anggapan sebagian masyarakat bahwa perempuan tidak mungkin menggunakan kekerasan. Sehingga dengan melibatkan perempuan akan lebih efektif.


Kemudian alasan lain sebagai retorika untuk mengajak lelaki lebih banyak terlihat dengan menantang maskulinitasnya. “Dengan berbicara, ‘masak laki-laki kalah sama perempuan. Perempuan saja mau kok.’ Begitu misalnya,” terang penulis buku Feminisme Muslim di Indonesia (2019) ini.


Prof Alim menambahkan, karena ada relasi kuasa yang menyebabkan perempuan masuk dalam lingkaran terorisme. Di sini ada penafsiran ketundukan kepada suami.


Menurut dia, ada tiga hal yang dapat dijadikan upaya dalam mengatasi kekerasan ekstrem. Pertama, meningkatkan pendidikan yang mempunyai keragaman. Kedua, membiasakan berpikir kritis. “Tren dakwah saat ini kurang sekali mengajarkan berpikir kritis,” ungkapnya.


Ketiga, lanjut dia, meningkatkan kesempatan perempuan untuk mengaktualisasikan diri juga dapat dijadikan upaya mengatasi terorisme.


Kuasa dan pilihan
Senada dengan itu, pengamat terorisme Navhat Nuroniyah  juga mengungkapkan, bahwa perempuan memiliki kuasa dan pilihan. Meski prosesnya nanti dapat beriringan.


Menurut penelitiannya, beberapa peran perempuan dalam kasus terorisme sendiri. Di antaranya, mayoritas sebagai reproduksi atau mengajar anak-anak dan generasinya. “Jadi masih pada ranah domestik sebagian besarnya,” terang Nava.


Ia juga menjelaskan, motivasi yang dimiliki adalah karena jaringan pertemanan dan pendidikan. Atau karena motivasi pribadi untuk mengubah dirinya sendiri, namun dengan jalan yang salah.


Diskusi ini juga dihadiri aktivis stand up comedy, Sakdiyah Makruf, yang menceritakan pengalamannya saat di atas panggung. Ia bercerita menggunakan materi perempuan yang berkaitan dengan terorisme.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori