DPR Jelaskan Alasan RUU Perampasan Aset Masih Perlu Dibahas, Kapan Disahkan?
NU Online · Rabu, 3 September 2025 | 17:00 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyebut pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset akan dilakukan setelah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selesai dibahas. Padahal RUU ini sudah ada sejak 2008 silam. Lalu kapan disahkan DPR?
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa sejumlah aturan terkait perampasan aset sudah tercantum dalam berbagai undang-undang.
Karena itu, pembahasan RUU ini membutuhkan harmonisasi agar tidak tumpang tindih dengan aturan lain.
"Aspek-aspek perampasan aset itu ada di Undang-Undang Tipikor, TPPU, KUHP, dan KUHAP. Maka setelah selesai semua, kami akan ambil dari sana. Bagaimana kemudian satu undang-undang yang punya persoalan yang sama soal aset itu bisa dikompilasi dan kemudian bisa berjalan dengan baik," kata Dasco dikutip NU Online dari Instagram DPR RI Rabu (3/8/2025).
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Sturman Panjaitan menegaskan bahwa penyusunan RUU Perampasan Aset tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Menurutnya, setiap aturan harus searah dan sejalan agar tidak menimbulkan kontradiksi.
"Undang-undang itu harus searah, sejalan. Supaya tidak berlawanan. Makanya kita harus hati-hati. Kami bekerja semaksimal mungkin. Bahkan kemarin kita juga bahas. Hari Senin kemarin kita masuk juga tahap penyusunan," ujar Sturman.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Kholid, menegaskan pentingnya keberadaan RUU Perampasan Aset dalam memperkuat pemberantasan korupsi.
Ia menyebut bahwa korupsi bukan sekadar tindak pidana ekonomi, melainkan bentuk perampasan hak rakyat.
"Penegakan hukum tidak cukup hanya menghukum pelaku, tetapi juga harus menjamin bahwa hasil kejahatan tidak bisa dinikmati oleh siapapun. RUU Perampasan Aset adalah solusi rasional, adil, efektif, dan tegas untuk menutup ruang itu," tegas Kholid.
Menurut Kholid RUU ini diharapkan menjadi solusi konkret agar aset negara tidak lagi dikuasai pelaku kejahatan, melainkan benar-benar kembali untuk kesejahteraan rakyat.
Salah satu poin penting dalam RUU Perampasan Aset adalah mekanisme penyitaan harta hasil tindak pidana tanpa menunggu adanya vonis pidana. Dengan begitu, negara tetap bisa mengambil alih aset meski pelaku melarikan diri, meninggal dunia, atau lolos karena alasan teknis hukum.
Selain itu, RUU ini juga mengatur mekanisme beban pembuktian terbalik terbatas, di mana pihak tertuduh maupun ahli warisnya wajib membuktikan bahwa harta yang dimiliki bukan berasal dari tindak pidana.
Pengelolaan aset rampasan nantinya akan dilakukan secara profesional dan transparan oleh Pusat Pemulihan Aset (PPA), Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan demikian, pemerintah berharap langkah ini dapat menutup ruang bagi pelaku korupsi, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di mata dunia sebagai negara yang berkomitmen pada pemberantasan korupsi.
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), naskah RUU Perampasan Aset pertama kali disusun pada 2008 lalu. Meski begitu, perlu waktu lebih dari satu dasawarsa sebelum RUU tersebut masuk Prolegnas Prioritas.
Baru pada tahun 2023, RUU Perampasan Aset masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas di DPR. RUU tersebut menjadi Prolegnas Prioritas usulan pemerintah.
Meski telah menjadi Prolegnas Prioritas, respons dari DPR terkait upaya penyelesaian RUU ini cenderung tak disambut baik.
Terpopuler
1
Instruksi Kapolri soal Tembak di Tempat Dinilai Berbahaya, Negara Harus Lakukan Evaluasi
2
Haul Ke-44 KH Abdul Hamid Pasuruan, Ini Rangkaian Acaranya
3
Gusdurian Desak Kapolri Mundur usai Marak Kekerasan Aparat
4
Prabowo Batalkan Kunjungan ke Tiongkok, Pilih Fokus Tangani Situasi Dalam Negeri
5
Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Pidato Prabowo Tak Singgung Ketidakadilan Sosial dan Kebrutalan Aparat
6
Prabowo Instruksikan TNI-Polri Tak Ragu Ambil Langkah Tegas saat Hadapi Kerusuhan
Terkini
Lihat Semua