Opini

Zamane Zaman Edan, Mari Tetap Saling Eling lan Waspada 

NU Online  ·  Rabu, 3 September 2025 | 15:54 WIB

Zamane Zaman Edan, Mari Tetap Saling Eling lan Waspada 

Ilustrasi zaman edan (Foto: Freepik)

Menjelang akhir Agustus ini, kita disuguhi banyak berita dan peristiwa mulai dari tingkat daerah hingga nasional, mulai dari soal isu kenaikan pajak, usulan kenaikan gaji dan tunjangan untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga aksi massa yang mengakibatkan banyak orang terluka bahkan ada yang meninggal dunia. Terakhir, yang penulis baca, terjadi amukan massa yang berimbas pada perusakan fasilitas umum dan penjarahan beberapa rumah tokoh pejabat.


Beberapa peristiwa tragedi tersebut, mengingatkan penulis pada bait-bait yang ditulis oleh salah satu pujangga besar Surakarta Raden Ngabehi (R. Ng.) Ranggawarsita (1802-1873). Ranggawarsita terlahir dari keluarga pujangga. Kakek buyut dan kakeknya yakni R Ng Yasadipura I (1729-1803) dan R Ng Yasadipura II (1760-1844), keduanya merupakan pujangga besar Kasunanan Surakarta dan dimakamkan dalam satu kompleks pemakaman di dekat Masjid Ciptomulyo Pengging, Banyudono, Boyolali.


Sebagai seorang pujangga, Ranggawarsita tidak hanya memiliki kelebihan dalam karya sastra semata, tetapi ia mesti memiliki daya ingat dan kecerdasan serta kemampuan dan otoritas menangani persoalan-persoalan dunia spiritual, sambegana (kemampuan menangkap dan memahami tanda-tanda alam maupun zaman), nawungkrida (ahli kanuragan), dan syarat-syarat lain (Ahmad Norma, Zaman Edan, Yogyakarta Bentang Budaya, 1998).


Maka, beberapa karya Ranggawarsita mampu menembus zaman. Orang menyebutnya weruh sakdurunge winarah (mengetahui peristiwa yang akan terjadi di masa depan). Termasuk tulisannya dalam Serat Kalatidha, yang menurut penulis, relevan untuk membaca, menerawang, dan menawarkan solusi akan situasi yang terjadi pada saat ini.

 

Serat Kalatidha yang terdiri dari 12 bait ditulis Ranggawarsita lebih dari seabad yang lalu, sekitar pada tahun 1860. Pada bait awal kita akan disuguhkan sebuah keadaan zaman sebagai berikut:

 

Mangkya darajating praja/ Kawuryan wus sunyaruri/ Rurah pangrehing ukara/ Karana tanpa palupi/ Atilar silastuti/ Sujana sarjana kelu/ Kalulun kala tidha/ Tidhem tandhaning dumadi/ Ardayengrat dene karoban rubeda//

 

Dapat kita maknai kurang lebih sebagai berikut: Keadaan negara yang demikian merosot karena tidak ada lagi yang memberi teladan (karana tanpa palupi).Banyak yang meninggalkan norma-norma kehidupan (atilar silastuti). Para cerdik pandai terbawa arus zaman yang penuh keragu-raguan (sujana sarjana kelu; kalulun ing kalatidha). Suasana mencekam karena dunia sudah penuh masalah.


Dalam konteks situasi yang terjadi pada negara kita saat ini, kurang lebih hampir sama dengan bait awal tersebut. Para pejabat banyak yang tidak memiliki rasa empati dengan membuat kebijakan yang tidak bijak. Sementara hal lain, seperti korupsi, ketidakjujuran, pamer kemewahan juga semakin terlihat.

 

Hal ini berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat kepada para pejabat. Anggota DPR yang semestinya menjadi wakil dan penyambung suara mereka, justru tak berfungsi sesuai namanya. Alih-alih menjadi wakil, mereka justru menjadi bendara bagi rakyat. Pun, banyak cerdik pandai ataupun kaum intelektual yang bungkam, tak berani bersuara dengan keadaan ini.


Kondisi ini, apabila dibiarkan terus-menerus, dapat menyebabkan situasi yang tidak menentu. Beberapa oknum memanfaatkan situasi ini untuk menciptakan kekacauan. Terlebih, sekarang adalah zaman digital, di mana persebaran informasi menjadi sangat cepat. Dampaknya, situasi panas yang terjadi di ibu kota ataupun kota-kota besar lainnya, ikut mempengaruhi psikologi masyarakat di seluruh tanah air. Tak terkecuali, mereka yang tinggal di kampung terpencil sekalipun.


Efek di beberapa kota besar dapat kita saksikan, sudah mulai terjadi tindakan vandalisme, perusakan fasilitas umum dan penjarahan di beberapa rumah pejabat. Aparat keamanan juga tak segan untuk melakukan kekerasan untuk menghalau aksi massa. Kalau sudah begini tentu kita akan mengingat sebuah pesan: bahwa dalam peperangan/kekerasan, tidak ada yang menang ataupun kalah. Sebab, semua pasti akan mengalami kerugian, baik fisik, materi, maupun sosial psikologis.


Maka, pada bait ketujuh Serat Kalatidha, apabila kita mengalami zaman edan ini kita diingatkan: Amenangi zaman édan/ éwuhaya ing pambudi/ mélu édan nora tahan/ yén tan milu anglakoni/ boya kaduman mélik/ kaliren wekasanipun/ dilalah kersa Allah/ begja-begjane kang lali/ luwih begja kang éling lawan waspada//


Ketika kita berada pada situasi zaman edan atau gila, kita akan serba salah dalam bertindak. Kalau kita tidak tahan akan situasi ini, kita akan ikut menjadi gila. Pejabat berperilaku korup, intelektual tidak berani menyuarakan kebenaran serta kepentingan rakyat, dan lain sebagainya.

 

Sebaliknya, banyak orang-orang yang merasa, kalau dia tidak ikut dalam arus tersebut, ia tidak akan dapat apa-apa alias hidup dalam kemelaratan. Maka, sebagian dari mereka yang emosi dan frustrasi akan keadaan hidup, akhirnya ikut merusak dan bahkan menjarah.


Oleh karena itu, bagaimana agar kita tidak termasuk dalam kelompok tersebut? begja-begjane kang lali, luwih begja kang éling lawan waspada. Dalam situasi ini ada beberapa orang yang mungkin karena keterbatasan akses informasi, semisal para orang tua yang tidak atau jarang memegang smartphone ataupun mereka yang banyak disibukkan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari, tidak akan mengetahui hiruk pikuk yang terjadi.

 

Bagi mereka, kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tidak ada pengaruhnya berita amukan massa di kota dengan mereka yang tinggal di kampung. Bagi penulis, beruntunglah mereka yang tidak disibukkan dengan hiruk pikuk berita di media sosial.


Namun, bagi kita yang dilalah mengalami langsung berbagai peristiwa ini, atau setidaknya mengikuti berita peristiwa yang terjadi belakangan ini, lumrah kalau kemudian kita memiliki kekhawatiran dan ketakutan. Oleh karena itu, éling lawan waspada menjadi sikap yang sangat tepat. Saling mengingatkan agar kita semua, tidak ikut-ikutan menjadi edan. Sebab yang terpenting dari ini semua, yakni kedamaian, kerukunan serta keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Maka, marilah kita berdoa, semoga bangsa dan negara Indonesia senantiasa diberikan kedamaian dan dijauhkan dari marabahaya.


Ajie Najmuddin, Lakpesdam PCNU Boyolali