Opini

'Kemadjoean' dan Iman

Sen, 13 November 2023 | 05:00 WIB

'Kemadjoean' dan Iman

Ilustrasi (Foto: NU Online)

Pada 1924, Balai Pustaka menerbitkan Kirti Njunjung Drajat. Buku tipis berbahasa Jawa. Kita bisa memberi sebutan itu novel-pers awal di Indonesia. Pengarang bernama Jasawidagda. Ia lahir di Klaten dan lama dalam pengabdian di Mangkunegaran (Surakarta). Ia menulis novel berlimpah rekaman dan masalah-masalah pers di tanah jajahan, akhir abad XIX dan awal abad XX.


Kita mengutip pers masa lalu melalui cerita ditulis 1920-an dan terbit 1924: "Begja malih dene ing Surakarta sampun kathah serat kabar Jawi, wujudipun inggih punika serat kabar Bramartani, Jawi Kandha tuwin Jawi Hiswara, Darmakandha, saha ingkang medal kantun piyambak, serat kabar Taman Pawarta. Sanajan isinipun serat-serat kabar wau boten patos dipun ajeni dening para saged saha para golongan serat kabar Walandi. Nanging inggin sampun luwung amargi kejawi ngemot kawruh Jawi, ugi wonten karangan ingkang surasanipun badhe ngewahi jaman, liripun badhe ngupados pepadhang utawi kamajengan." Surat kabar menandai "kemadjoean" di tanah jajahan.


Sekian surat kabar terbit di Surakarta atau Solo. Elite dan pengelola pers Belanda meledek berkaitan mutu dan penggunaan bahasa. Beragam terbitan itu memuat pengetahuan, menandai kesanggupan dan gairah dalam meniti zaman kemajuan atau kemodernan. Surakarta bergerak dengan tulisan-tulisan, beredar kabar dan pendapat.


Jasawidagda memberi rekaman: "Dene tetiyang Jawi ingkang remen maos serat kabar sampun mesthi mindhak jembar seserepanipun, saha sumerep dhateng ebahing jaman, langkung malih ingkang sami maos serat kabar Melayu. Serat kabar Melayu ingkan radi sumebar ing Surakarta kadosta: Slompret Melayu wedalan Semarang, juru ngarangipun Tuwan Appel, Tamansari wedalan Betawi, juru ngarangipun Tuwan Weeggers, serat kabar Medan Priyayi wedalan Bandung, juru ngarangipun RM Tirtaadisurya."


Keterangan-keterangan itu membuat para pembaca novel melacak sejarah dan perkembangan pers di tanah jajahan. Surat kabar turut berpengaruh besar dalam "kemadjoean" meski menimbulkan beragam pertikaian. Surat kabar mengusung misi-misi politik, dagang, bahasa, dakwah, dan lain-lain. Pada masa lalu, Surakarta bergelimang surat kabar.


Kita pertemukan kalimat-kalimat dalam novel berbahasa Jawa dengan kajian sejarah Takashi Shiraishi berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997). Sejarawan itu berbagi penjelasan: "... seiring dengan berkembangnya Javanologi Belanda yang profesional, di Surakarta muncul sebuah komunitas Indo-Jawa-Tionghoa amatiran yang mencintai dan mengembangkan kesusastraan Jawa 'modern dekaden' serta segala kegiatan budaya yang diabaikan dan dikesampingkan oleh Javanolog Belanda. Komunitas ini terbentuk dengan surat kabar berbahasa Jawa yang pertama, Bromartani, sebagai pusatnya. 


Surat kabar ini diterbitkan pada 1855 oleh CF Winter, seorang Indo yang dilahirkan di Yogyakarta dan sampai meninggalnya tinggal di Surakarta. Surat kabar ini dibaca, diedarkan, dan dilanggan oleh segmen elit Jawa yang paling terpengaruh peradaban Barat dan juga oleh orang-orang Indonesia dan Tionghoa. Penjelasan itu terperoleh dari beragam sumber. Takashi Shiraishi menguatkan pendapat bahwa surat kabar itu menjadikan Surakarta atau Solo bergerak: kencang dan tegang.


Kita mengutip novel dan disertasi sejarah untuk melihat warisan terbitan masih awet, berhasil melewati usia seratus tahun. Di depan mata, kita membaca terbitan bernama Medan Moeslimin (15 Mei 1915) berketerangan: "Soerat chabar boelanan Djawa dan Melajoe dikaloearkan oleh HM Misbach dan M Sastrositojo." Waktu pilihan: "terbit saben tanggal 15 boelan Ollanda." Surat kabar masih bisa terpegang dan terbaca meski kondisi memprihatinkan. Surat kabar itu terbit di Solo, beredar ke pelbagai kota atau pulau. Di buku berjudul Kenang-Kenangan Hidup (1951), Hamka mengingat bahwa teman-teman saat remaja (masa 1920-an) membaca Medan Moeslimin di Padangpanjang (Sumatra).


Kita mengutip tulisan DW berjudul Mana Agama Jang Hak? Tulisan membeberkan iman. Ia mengungkapkan: "Ditanah Djawa pada masa kini, bolehlah dikatakan, pada oemoemnja Allah ta'ala itoleh jang dipertoehankan. Tiadakah salah kita mempertoehan Allah itoe? O tidak! Memang soedah benar kepertjajaan kita itoe. Allah ta'ala jang maha koeasa, jang mendjadikan langit dan boemi dengan isinja sekalian. Itoelah soedah tiada boleh dibantahi lagi. Betoel begitoe!"


Medan Moeslimin pun memukat iklan. Kita melihat iklan atau "advertentie" bacaan: "Adanja boekoe-boekoe Djawa jang dikeloearken oleh pertara'an firma Albert Rusche & Co, Soerakarta." Surat kabar bernama Djawi-Kando dan Djawi-Hisworo diajukan agar para pembaca menjadi pelanggan. Buku-buku dijual berjudul Babad Diphonagoro, Poestokorodjo, dan Paromoboso, dan lain-lain.


Di buku-buku sejarah, kita biasa mengingat Medan Moeslimin itu Hadji Misbach. Ia menjadikan Solo bergerak dengan beragam ide dan tindakan. Ia "dimusuhi" gara-gara keberanian dalam melawan dan melempar gugatan. Pengecapan terjadi dengan bara-propaganda dan aksi-aksi: "haji merah". Kita masih beruntung mengingat tokoh dan berjumpa Medan Moeslimin edisi 15 Mei 1915.


Herman H (2013) mengingatkan sosok Misbach (1876-1926): "Pendidikan Misbach diawali dengan belajar ilmu-ilmu agama di pesantren. Kemudian belajar di sekolah bumiputera ongko loro selama delapan bulan... Misbach mengikuti jejak langkah ayahnya menjadi pedagang batik di Kauman. Bisnis batiknya menanjak sehingga ia berhasil membuka rumah pembatikan."


Pada 1915, ia berlanjut menjadi penggerak bacaan melalui Medan Moeslimin. Misbach berkepentingan mengajak orang-orang menjadi pembaca agar berani bersikap dan bertindak. Medan Moeslimin itu tak sekadar bacaan. Pada masa lalu, Medan Moeslimin terbit memberi bara dalam menggerakkan pemikiran, iman, dan iklan. Begitu.


Bandung Mawardi, Penulis Rokok di Halaman Sastra (2022)