Nasional

Kenapa Ibu Kota Harus Pindah? Ini Penjelasan Jokowi

Sel, 27 Agustus 2019 | 03:20 WIB

Kenapa Ibu Kota Harus Pindah? Ini Penjelasan Jokowi

Presiden Joko Widodo. (Foto: Sekretariat Kabinet)

Jakarta, NU Online
Istana Negara mengonfirmasi secara resmi bahwa Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara yang ada di Provinsi Kalimantan Timur dipilih sebagai wilayah Ibu Kota Negara.
 
Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah telah melakukan kajian-kajian mendalam, terutama dalam tiga tahun terakhir.

“Hasil kajian-kajian tersebut menyimpulkan, lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara,” ungkap Jokowi, Senin (26/8) di Jakarta.

Menurutnya, wilayah Jakarta saat ini menyangga beban yang sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa. Bahkan, sebagai lokasi bandar udara dan pelabuhan laut terbesar di Indonesia.

“Kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah, polusi udara dan air kota ini harus segera kita tangani,” terangnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menegaskan, problem tersebut bukan kesalahan Pemprov DKI Jakarta. Ini karena besarnya beban yang diberikan perekonomian Indonesia kepada Pulau Jawa dan kepada Jakarta.

“Kesenjangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa yang terus meningkat, meski sejak 2001 sudah dilakukan otonomi daerah,” jelas Jokowi.

Selain itu, sambungnya, beban Pulau Jawa juga semakin berat. Penduduknya sudah 150 juta atau 54 persen dari total penduduk Indonesia, dan 58 persen PDB ekonomi Indonesia itu ada di Pulau Jawa.

“Kita tidak bisa terus menerus membiarkan beban Jakarta dan beban Pulau Jawa yang semakin berat itu,” tegasnya.

Sebelumnya dalam sejumlah kesempatan, Jokowi menyebut ide pemindahan ibu kota negara sudah ada sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama Soekarno. Soekarno menyiapkan Palangkaraya sebagai calon ibu kota Indonesia pada 1957. Ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut dinilai memiliki wilayah yang luas dan secara geografis tepat berada di jantung khatulistiwa.

Di era Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono, kajian tentang pemindahan ibu kota negara berlanjut. Ibu kota yang baru harus dipisahkan dari pusat ekonomi dan komersial, artinya menjauh dari Jakarta.

Pemerintahan Jokowi pada April 2017 kembali memunculkan wacana ini, termasuk mengkaji kota-kota mana saja yang akan menjadi alternatif ibu kota baru. Nama Palangkaraya kembali disebut oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Pemerintah kembali membahas pemindahan ibu kota negara dalam ratas kemarin. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, ada tiga alternatif yang dikaji.

Pertama, ibu kota tetap di Jakarta tetapi ada distrik khusus untuk pusat pemerintahan. Distrik itu berada di sekitar Monas dan Istana Negara, Jakarta Pusat. Apabila pemerintah memilih alternatif ini, perlu disiapkan transportasi massal di distrik ini guna memudahkan mobilitas antarpegawai kementerian dan lembaga.

Kedua, memindahkan ibu kota ke wilayah lain yang jaraknya hanya 60 sampai 70 kilometer dari Jakarta. Contohnya, Jonggol di Jawa Barat atau Maja di Banten. Keuntungannya, proses pemindahan ibu kota menjadi lebih dekat. Kelemahannya, Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) masih menjadi pusat kontribusi ekonomi terbesar.

Ketiga, memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Namun, lokasi harus strategis dan berada di tengah wilayah Indonesia secara geografis. Hal ini penting supaya ibu kota negara merepresentasikan keadilan dan percepatan ekonomi di wilayah timur Indonesia. Selain itu, Bappenas pun mensyaratkan di wilayah tersebut tidak ada biaya pembebasan lahan dan minim bencana alam, seperti gempa bumi, erupsi gunung berapi, dan lain-lain.

Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi