Nasional

Kepala Puslitbang Kemenag Ungkap Kisah Kelam Buku di Masa Silam

Kam, 18 Oktober 2018 | 09:00 WIB

Denpasar, NU Online
Dalam sejarah peradaban manusia, terjadi tragedi penghancuran buku dari masa ke masa. Waktu itu, pembakaran naskah karya ulama dan cerdik cendekia merupakan fenomena biasa.

Karya Ibn Rusyd (1126-1198 M) pernah dibakar. Sebelumnya, kitab-kitab karya Imam al-Ghazali (1058-1111 M) juga dirampas perampok. Dari situ, terkenal pameo al-'ilmu fi al-shudur, la fi al-suthur (ilmu itu tersimpan di hati, bukan di atas kertas).

Di Nusantara, karya-karya Hamzah Fansuri yang berbau wahdah al-wujud dibakar di halaman Masjid Baiturrahman, Banda Aceh atas agitasi Syekh Nuruddin al-Raniry.

Hal tersebut dikisahkan Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, Manajemen Organisasi (LKKMO) Balitbang Diklat Kemenag, Muhammad Zain, saat memberi sambutan pada Seminar Penilaian Buku Pendidikan Agama dan Keagamaan untuk Memperkuat Moderasi Agama. Acara yang digelar di Hotel Aston Denpasar Bali tersebut dibuka resmi oleh Kepala Badan (Kaban) Litbang Diklat Kemenag Abdurrahman Mas'ud, Rabu (17/10) malam.

“Ketika sekelompok muslim sangat bersemangat membakar kitab karya Ibn Rusyd, salah seorang murid beliau menangis. Lalu Ibn Rusyd berkata kepada muridnya. Anakku, jika engkau meratapi kondisi umat Islam ini, kemudian air matamu serupa air laut, itu pun tidak sepadan. Yang patut engkau tangisi adalah nasib buku-buku itu. Jika engkau mengetahui ide-ide buku tersebut yang sesungguhnya memiliki sayap dan bisa terbang melampaui berabad-abad lamanya yang mencapai pikiran orang waras,” kata Zain.

Kisah kelam lainnya, lanjut dia, yang sangat tragis itu penghancuran buku oleh tentara Mongol di kota Baghdad. Sungai Tigris menghitam dengan tinta kitab-kitab karya ulama dan cerdik cendekia. Sementara di era sekarang juga terjadi ‘pembersihan’ buku. Sejumlah naskah diedit (ditahqiq) dan diberi notasi sedemikian rupa. Ada kata yang dihilangkan agar berkesesuaian dengan ideologi tertentu.

“Mark Kurlansky dalam sebuah buku teranyarnya menulis sebuah tema yang membahas The Islamic Birth of Literacy. Bahwa kemunculan Islam justru memberi perhatian besar bagi perkembangan industri kertas. Bahkan kata qirtas disebut dalam al-Qur’an. Industri kertas terbesar dimulai di kota Samarkand atas jasa tentara China yang ditawan oleh tentara Arab,” papar Sekretaris LPTNU 2010-2015 ini.

Menurut dia, dari sini pentingnya merawat manuskrip karya para ulama agar otentisitas pemikiran mereka tetap terjaga. “Saya pernah membaca pandangan Umberto Eco, penulis novel The Name of the Rose, tentang pentingnya telah kehadiran buku. Buku terbukti membangun peradaban dunia. Buku dapat mengumpulkan serpihan panjang sejarah kemanusiaan. Buku juga memperpendek waktu. Melalui pikiran para filsuf Yunani kuno dalam buku pengantar filsafat, seakan tidak ada jarak antara masa lalu Yunani dengan era sekarang,” ungkapnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, bagi Umberto Eco meskipun era sekarang adalah era digital, peradaban buku masih tetap tak terkalahkan. Membaca buku memiliki kelebihan, yakni dapat membawa pembacanya lebih fokus kepada kebutuhan memahami sebuah topik. Sedang membaca lewat perpustakaan digital, apalagi lewat internet, bisa mengganggu konsentrasi pembaca terhadap informasi lain yang disuguhkan bersamaan.

“Buku juga tidak mengakibatkan radiasi. Tentu berbeda dengan membaca lewat digital library yang bisa memengaruhi kemampuan daya tahan baca seseorang. Hal ini bukan berarti digital library atau electronic books tidak penting. Umberto Eco memiliki seperangkat komunikator untuk membantunya dalam mencerap ide dan gagasan-gagasan baru,” tutur dewan pakar PP Pergunu ini.

Pria asal Mandar Sulawesi Barat ini berharap, seminar tersebut bisa membuka cakrawala terkait kebijakan di dunia perbukuan, khususnya buku-buku agama dan keagamaan. “Dengan adanya payung hukum melalui PMA Nomor 9 tahun 2018 tentang buku pendidikan agama, tak ada lagi kasus-kasus yang jadi polemik seperti dulu,” pungkas Zain. (Musthofa Asrori/Ibnu Nawawi)