Nasional RISET BALITBANG KEMENAG

Kerukunan Beragama di Aceh, Padang, dan Cimahi Tahun 2018

Sen, 14 Oktober 2019 | 00:00 WIB

Kerukunan Beragama di Aceh, Padang, dan Cimahi Tahun 2018

Pelaksanaan peringatan 1 Sura masyarakat Sunda Wiwitan di Cirendeu (Foto: Ahmad Samantho)

Provinsi Aceh memiliki kewenangan penerapan Syariat Islam berdasarkan UU No.44/ 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pelaksanaan penerapan Syari’at Islam dilakukan melalui penetapan berbagai Qanun yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
 
Para peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag RI menyimpulkan proses ini merupakan konfirmasi, bahwa  pelaksanaan Syariat Islam dijalankan berdasarkan pedoman legislasi nasional, di mana proses pembuatan hukum positif dituntut memenuhi landasan filosofsi, sosiologis, dan yuridis.
 
Dalam penelitian penelitian Monografi Kehidupan Keagamaan 2018 itu disebutkan, proses tersebut juga mengonfirmasi bahwa pro kontra soal syariat Islam sebaiknya dipahami sebagai bagian dari demokrasi dalam konteks Indonesia yang tetap menghargai keragaman, tetapi dengan semangat persatuan. 
 
Pola toleransi dan kerukunan dalam realitas praktis kehidupan antarumat beragama di Kota Banda Aceh dapat disaksikan di daerah Peunayong, bagian kota yang telah lama ada, diperkirakan sejak masa kesultanan Aceh Darussalam yang berdiri pada abad ke-16.
 
"Di sini, kerukunan disumbang oleh adanya dua pilar, yaitu budaya pluralistik yang telah tertanam lama dalam sejarah Aceh dan jejaring kewargaan (network of civic engagement) yang telah menjadi jembatan komunikasi antar komunitas agama dan etnis yang berbeda," sebut peneliti dalam Executive Summary penelitian mereka.
 
Selain itu, juga terungkap, kedua faktor tersebut sejauh ini efektif dalam membangun kohesi sosial masyarakat Banda Aceh di Peunayong.
 
Monografi keagaman yang diungkap berikutnya dalam penelitian tersebut adalah pola relasi antarkomunitas etnis dan agama di Kota Padang, yang pada level akar rumput digambarkan kondusif bagi kerukunan. Praktik harmoni dalam kehidupan antarumat beragama di Padang, tidak lepas dari modal sosial yang mereka miliki sebagaimana tampak dalam tradisi pencelupan (kompromi) antara penduduk Nias-Kristen dengan Minang-Muslim di kelurahan Mata Air, Padang Selatan. 
 
"Tradisi ini adalah rembugan tentang berbagai aktivitas sosial antar tokohtokoh dari dua kelompok tersebut, sehingga tidak aneh jika terjadi Rukun Warga (RW) misalnya dipimpin non-Muslim meski mayoritas penduduknya Muslim," tulis peneliti.
 
Praktik kerukunan lainnya adalah malakok (pembauran), yaitu proses masuknya pendatang baru ke dalam struktur pasukuan asal atau penduduk pribumi. Hanya saja, pada level elit yang lebih luas, masih ditemukan rintangan antara lain berupa kecurigaan terhadap kelompok minoritas. Di masa lalu, pawai paskah biasa dilakukan, sesuatu yang tidak mungkin lagi di masa kini. Aktivasi potensi kerukunan dan scaling up yang terus menerus dari level akar rumput ke level elit atau ke level kebijakan publik, masih sangat diperlukan, agar tradisi semacam pencelupan dan malakok dapat tumbuh subur dan mempengaruhi masyarakat Kota Padang dalam skala luas.
 
Lokasi berikutnya yang jadi objek penelitian tersebut adalah kerukunan antarumat beragama di Kota Cimahi yang tergambar dalam relasi sosial antara masyarakat adat yang beragama Sunda Wiwitan dengan masyarakat sekitar yang mayoritas Muslim di Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan.
 
Ketahanan pangan berupa budidaya singkong dengan segala manfaatnya, mampu menjadi medium bagi peningkatan relasi yang harmonis antarwarga masyarakat. Peneliti menemukan, warga adat Cireundeu saling berbagi pengalaman dan manfaat ekonomis budidaya singkong dengan masyarakat sekitar.
 
Lebih jauh, kekuatan indigenous knowledge yang melekat pada kelompok adat ini memberi manfaat bagi pemeliharaan lingkungan, pengembangan pariwisata budaya, dan konservasi warisan huruf Sunda kuno. Sikap hidup inklusif komunitas Sunda Wiwitan di Cireundeu memungkinkan mayoritas Muslim Sunda menghormati dan hidup rukun bersama mereka, sekaligus memungkinkan warga adat tetap dinamis menghadapi modernitas.
 
Lokasi lain yang dibahas dalam kajian dan penelitian terkait monografi keagamaan adalah NTT dan Bali. Keluaran yang diharapkan dari penelitian tersebut adalah naskah buku yang dapat dijadikan bahan promosi kerukunan baik untuk masyarakat Indonesia maupun masyarakat tingkat internasional.
 
Editor: Kendi Setiawan