Nasional RISET BALITBANG DIKLAT

Bangunan Kerukunan di Bali dan NTT

Ahad, 13 Oktober 2019 | 17:30 WIB

Bangunan Kerukunan di Bali dan NTT

Ngejot, salah satu tradisi saling memberikan hantaran pada saat hari besar keagamaan (Foto: NU Online/Abraham Iboy)

Pada tahun 2018 Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI mengadakan penelitian Monografi Kehidupan Keagamaan. Keluaran yang diharapkan dari penelitian tersebut adalah naskah buku yang dapat dijadikan bahan promosi kerukunan baik untuk masyarakat Indonesia maupun masyarakat tingkat internasional.
 
Penelitian dan kemudian penyusunan buku Monografi Kehidupan Keagaaman 2018, merujuk pada Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Petunjuk teknis Jabatan Fungsional Peneliti, Surat Edaran Kepala Badan Litbang dan Diklat Nomor 3 Tahun 2015 tentang Standarisasi Kegiatan Pengembangan Bidang Kelitbangan di lingkungan Badan Litbang dan Diklat.
 
Monografi merupakan karya tulis ilmiah hasil Litbang yang rinci pada sebuah topik atau subjek dengan pembahasan yang mendalam ditulis dengan berbagai pendekatan keilmuan dan ditulis dalam bentuk format buku dan dipublikasikan secara khusus. 
 
Untuk menyusun buku monografi itu telah dilakukan pendalaman data di lima wilayah yaitu Aceh, Padang, Cimahi, Gianyar, dan Kupang. Hasil pendalaman tersebut kemudian diperkaya dengan dengan hasil-hasil penelitian lain yang relevan, dan didiskusikan, sehingga menjadi sebuah naskah yang siap dipromosikan.
 
Titik tolok penulisan monografi ini, seperti disebutkan dalam Executive Summary penelitian, adalah Indeks Kerukunan Umat Beragama tahun 2017 (IKUB2017) yang dihasilkan oleh Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama secara  nasional. IKUB-2017 mengukur kerukunan umat beragama yang mencakup tiga aspek, yaitu kesetaraan, toleransi, dan kerja sama. Ukuran yang digunakan ialah skala 0-100, dengan kategorisasi 0-20 (sangat tidak rukun), 21-40 (tidak rukun), 4160 (sedang, cukup rukun),  6180 (rukun), 81-100 (sangat rukun).  
 
Dari 34 provinsi seluruh Indonesia, lima provinsi ditetapkan sebagai lokus untuk melihat realitas kerukunan pada tataran praktis, yaitu Bali (skor 79,5; mayoritas Hindu), Nusa Tenggara Timur (skor 83,4; mayoritas Katolik/Kristen), Aceh (60,0; Islam, Daerah Istimewa), Sumatera Barat (67,0; Islam luar Pulau Jawa), dan Jawa Barat (68,5; Islam Pulau Jawa). 
 
Harapannya, kelima lokus tersebut dapat menyediakan praktik terbaik (best practices) kerukunan umat beragama di Indonesia. Di Bali, eksplorasi tentang realitas praktik kerukunan dilakukan di Kabupaten Gianyar; di Nusa Tenggara Timur (NTT) dipilih di Kota Kupang; di Daerah Istimewa Aceh yang memiliki otonomi penerapan Syari’at Islam, lokusnya adalah Kota Banda Aceh; di Sumatera Barat dipusatkan di Kota Padang; serta Kota Cimahi di Jawa Barat.
 
Relasi Hindu dan Islam di Kampung Sindu, Desa Keramas, Kecamatan Blahbatu, menjadi contoh praktik kerukunan yang dipilih di Gianyar. Sejarah panjang relasi ini telah menghasilkan kesadaran tentang hidup bersama dan bangunan kearifan lokal yang khas, seperti metulungan atau tolong menolong, menyamabraya atau ikatan persaudaraan/kekerabatan, ngejot yaitu saling memberikan hantaran saat upacara keagamaan, dan ngayah (kerja sosial desa).
 
Dalam Executive Summary Monografi Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2018 juga diungkapkan, secara esensial, bangunan kearifan lokal itu menjadi fondasi kerukunan dalam relasi antara umat Hindu dengan umat Islam. Harmoni di Kampung Sindu merupakan refleksi kehidupan nyata relasi Hindu dan Islam yang berlangsung juga di kampung-kampung lain di Bali. Pendayagunaan kearifan lokal menjadi perhatian utama dalam melihat praktik kerukunan di Kota Kupang.  

Adapun masyarakat NTT secara umum masih kuat dipengaruhi oleh warisan nilai, peraturan, dan hukum adat leluhur, serta tradisi masa lalu, sehingga memiliki variasi kearifan lokal relatif kaya dan beragam. Setelah gerakan reformasi, kekayaan warisan sosial dan budaya lama  itu di revitalisasi guna difungsikan untuk mampu didayagunakan untuk memajukan kemakmuran, sekaligus mencegah dan mengatasi berbagai konflik sosial.
 
Kondisi ini masih terefleksikan dalam kehidupan masyarakat Kota Kupang, meskipun telah mengalami banyak perubahan sosial. Salah satu bentuk kearifan lokal yang masih hidup di Kupang adalah 'budaya kekerabatan' (kinship culture) yang terbangun dengan basis rumah adat (house-basedsociety).
 
Kesatuan sosial berbasis rumah adat dapat menghimpun warga dari berbagai latar belakang agama dengan derajat otonominya masing-masing tetapi dalam semangat kerukunan. Bentuk kearifan lokal lainnya ialah pelibatan rakyat (civic engagement) secara kolektif dalam kerja bersama di lingkungan ketetanggaan seperti dalam membangun rumah ibadah. 
 
Editor: Kendi Setiawan