Ketika Masyarakat 'Dipaksa' Percaya Narasi daripada Data
NU Online · Rabu, 15 Mei 2019 | 22:30 WIB
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia memasuki situasi praktek berbangsa dan bernegara yang gawat.
Menurutnya, era post-truth (pascakebenaran) saat ini merusak karena menggambarkan daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan fakta yang sebenarnya.
"Jadi di era post-truth ini, narasi atau cerita ataupun keyakinan itu lebih penting daripada data atau fakta," ungkapnya pada acara Election Talk Stasiun TV Swasta Nasional, Rabu (15/5) malam.
Kondisi saat ini memang menunjukkan bahwa narasi-narasi khususnya pascapemilu sangat kencang sekali dihembuskan oleh pihak tertentu. Narasi yang dibangun adalah terjadinya kecurangan, ketidakadilan dalam pelaksanaan pemilu yang dilakukan lembaga penyelenggara. Namun narasi ini minus fakta dan data.
"Dan orang dipaksa percaya itu. Jadi ini bukan praktik bernegara dan berbangsa yang baik. Kita semakin menjauh dari keadaban. Karena narasi lebih penting dari bukti dan data," ungkapnya.
Dihubungi terpisah Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Lampung Prof. Aom Karomani juga memiliki pandangan senada. Menurutnya era post-truth saat ini mempengaruhi dinamika politik bangsa yang kental diwarnai sifat-sifat destruktif seperti saling nyinyir, saling memfitnah, saling menghujat. Sifat ini ditujukan untuk mendekonstruksi lawan demi meraih keuntungan politik.
"Para aktor dan simpatisan politik di era post-truth banyak yang lebih mendahulukan perasaan dan emosi dibandingkan fakta objektif yang sesungguhnya. Termasuk pendapat grup afiliasi yang dianggap lebih benar, bahkan dianggap 'mutlak benar' dari pada pendapat yang di luar kelompok afiliasinya," ungkap wakil ketua tanfidziyah PWNU Lampung ini kepada NU Online.
Selain itu, saat ini, rasionalitas dan kebenaran mudah pudar oleh sensasi emosi kepentingan dan afiliasi partai dan golongan. Hal ini didukung oleh mudahnya mendapat informasi yang tersebar di media sosial.
Menurutnya saat ini terjadi perubahan total terhadap konfigurasi dominasi informasi sebagai sebuah komoditas.
"Dulu, hanya pihak-pihak tertentu saja yang memiliki kekuasaan atas informasi. Setelah era medsos muncul, semua orang bisa melakukan penguasaan dan menyebar informasi dengan gampang sesuai keinginan," terangnya.
Jika yang mendominasi dalam pemberitaan adalah kebohongan, tentu menurutnya sangat membahayakan. Pasalnya kebohongan yang dibangun berulang dan masif via medsos yang kemudian dianggap menjadi sebuah kebenaran, sangat berbahaya buat bangsa ini. (Muhammad Faizin)
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua