Nasional

Ketika Muslim Kamboja Membaca Arab Pego

NU Online  ·  Jumat, 5 April 2013 | 20:03 WIB

Seorang Muslim Kamboja bernama No Sles, (dalam bahasa Indonesia dibaca Nuh Saleh) pernah berkunjung ke PBNU. Ia menyempatkan diri mampir ke kantor Redaksi NU Online yang terletak di lantai 5 gedung yang diresmikan KH Abdurrahman Wahid, semasa presiden.
<>
Selama sejam ngobrol dengan NU Online. Ia menjelaskan keadaan muslim Kamboja; dari kebudayaan, pendidikan, dan sejarah. Pengantarnya bahasa Kamboja sehingga memerlukan seorang penerjemah.

Sebelum pamitan, sudut mata Nos Sles melihat tulisan Arab di salah satu dinding NU Online. Ia pun langsung mendekatinya. Kemudian membaca "Deklarasi Hubungan Pancasila dengan Islam" yang dikeluarkan NU tahun 1983 itu.

Di deklarasi yang ditulis Arab pego itu, ada logo burung garuda (Pancasila) di sebelah kanan dan NU di sebelah kiri.  

“Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama,” demikian bunyi deklarasi sila pertama itu.

No Sles yang menjabat Director of Deparatment of Education and Human Resources Departemen di lembaga umat Islam Kamboja (Cambodian Muslim Development Foundation) itu membaca Arab pego  dengan lancar. Ia menyebut tulisan itu "Arab Jawi".

Menurut sejarawan yang budayawan Agus Sunyoto, kita tidak perlu aneh jika Muslim Kamboja tak bisa bicara bahasa Indonesia, tapi bisa memahami dan membaca Arab pego, karena memang aksara itu digunakan dalam pengajaran di sana.

lebih jauh Agus menjelaskan kata "Jawi" yang dimaksud "Arab Jawi" Nos Sles. Kata "Jawi" adalah bahasa Jawa kuno. Sementara "Arab Jawi" adalah cara komunikasi jaringan ulama Nusantara. Aksara itu digunakan untuk wilayah Asia Tenggara.

Agus menjelaskan kaitan kata itu dengan pembagian wilayah kekuasaan Nusantara. Kira-kira abad 8 Masehi kekuasaan Mataram terbagi dua bagian; antara Sanjaya Wangsa dan Syailendra Wangsa. “Nah, yang Syailendra Wangsa itu kekuasaannya disebut "Jawi", Sanjaya disebut "Jawa",” katanya kepada NU Online, di gedung PBNU, Jakarta, (31/1) lalu.

"Jawi" itu maksudnya wilayah pedalaman, sementara "Jawa" itu disebut pesisir. Dalam istilah waktu itu, "Jawi" kepada kekuasaan Syailendra di wilayah barat, yaitu dari Jawa Tengah ke barat, hingga Campa. Sementara sebelah timurnya kekuasaan Sanjaya disebut "Jawa".

Karena saudagar-saudagar Muslim waktu itu "beroperasi" di wilayah barat (kekuasaan Syailendra), mereka menyebut "Jawi" untuk keseluruhan Nusantara. “Nah, karena itu tulisan-tulisan Arab Pego, mereka sebut aksara Jawi.”

Aksara Arab pego atau Arab Jawi, lanjut penulis Suluk Abdul Jalil (tujuh jilid) dan Atlas Walisongo ini, jauh sebelum zaman Walisongo. Tapi jelas itu kreativitas kalangan Muslim.
 

Penulis: Abdullah Alawi