Nasional

Ketika Ulama Timur Tengah Mengambil Sanad Dakwah dari Ulama Indonesia 

Rab, 30 Desember 2020 | 18:15 WIB

Ketika Ulama Timur Tengah Mengambil Sanad Dakwah dari Ulama Indonesia 

Habib Jindan mengatakan kakeknya yang bernama Habib Salim bin Ahmad bin Jindan berguru dan mengambil sanad keilmuan dan dakwah dari kiai di Nahdlatul Ulama yakni Syekh Khalil Bangkalan, Madura. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Habib Jindan bin Novel bin Salim menegaskan bahwa sanad dalam keilmuan dan dakwah merupakan hal yang sangat penting dan mampu membawa keberkahan. Jika seseorang belajar ilmu dan berdakwah tanpa sanad maka akan melakukan sesuatu semaunya. Dalam hal ini Nabi telah mengingatkan bahwa siapa saja yang berbicara tentang Al-Qur’an tanpa ilmu atau pendapatnya sendiri maka baginya neraka.

 

"Dan Nahdlatul Ulama, para kiai-kianya, para ulama-ulamanya, mereka adalah ahlussanad (orang yang punya sanad) sampai kepada Rasulullah SAW. Bahkan dahulu pun pernah ada ulama dari Timur Tengah datang ke bumi Indonesia ini untuk mengambil sanad. Untuk berguru pada ulama di sini,” ungkap Habib Jindan pada acara Refleksi Dakwah Tahun 2020 yang diselenggarakan oleh Lembaga Dakwah PBNU di Kantor PBNU, Rabu (30/12).

 

Ia mencontohkan kakeknya sendiri yang bernama Habib Salim bin Ahmad bin Jindan berguru dan mengambil sanad keilmuan dan dakwah dari kiai di Nahdlatul Ulama yakni Syekh Khalil Bangkalan, Madura. Menurutnya masih banyak ulama-ulama Timur Tengah lainnya yang berguru pada ulama Nusantara.

 

Habib Jindan juga mengungkapkan bahwa tidaklah metode dakwah yang memiliki silsilah atau sanad bersambung sampai dengan Rasulullah SAW masuk ke daerah mana pun yang ada konflik, kecuali menjadi solusi dari konflik tersebut.

 

"Namun kenapa tiba-tiba negeri yang tidak ada konflik, dimasukkan dengan suatu dakwah yang katanya dakwah Islam, tahu-tahu berubah menjadi konflik. Pertanyaannya, apakah agamanya beda?" tanyanya terkait muncul adanya fenomena dakwah di Indonesia saat ini yang tidak mencontoh Rasulullah.

 

Menurutnya hal ini bukan karena agamanya yang berbeda namun pemahaman dalam cara berdakwah yang berbeda. Sehingga alih-alih mengikuti apa yang didakwahkan, malah menimbulkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat. 

 

Sudah seharusnya para pendakwah mencontoh kesuksesan Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Keberhasilan mereka adalah berasal dari metode yang digunakan Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah. Para Wali Songo telah menunjukkan bahwa dakwah dengan penuh kedamaian menjadi kunci suksesnya mereka menjadikan Indonesia negara dengan mayoritas beragama Islam saat ini.

 

"Hingga dengan berkat mereka sukses dakwah Islam di bumi Indonesia ini, kesuksesan yang tidak ada di negeri mana pun juga. Di negeri mana pun juga," tegasnya.

 

Para Wali Songo, jelasnya tidak menggunakan kekerasan dalam berdakwah. Mereka sangat luwes dalam berdakwah dan tidak menggunakan senjata tajam untuk memaksa penduduk Nusantara memeluk Islam. Para Wali Songo memiliki sesuatu yang lebih tajam dari senjata.

 

"Lebih tajam dari pedang. Apa senjata mereka? Akhlak, adab, ilmu, istiqamah, tawadlu, amanah, kejujuran, kesantunan," terangnya.

 

Pada kesempatan tersebut Habib Jindan pun mengingatkan dengan betapa harus bersyukurnya umat Islam hidup di Indonesia. Negara selalu mendukung kegiatan umat beragama dan setiap pemeluk agama diberi kebebasan yang tidak dimiliki di negara manapun. 

 

"Bahkan di Saudi Arabia nggak punya kebebasan seperti kita. Bahkan di Timur Tengah tidak punya kebebasan seperti kita, negeri Indonesia ini," ungkapnya.

 

Kiprah ulama Nusantara di Timur Tengah
Selain para ulama Timur tengah yang datang ke Indonesia untuk mendapatkan sanad keilmuan, banyak juga ulama Indonesia yang menjadi guru di Timur Tengah. Dalam Kitab Imta’ Ulin-Nazhar bi Ba’dhi A’yanil-Qarn ar-Rabi’ ‘Asyar (Tasynif al-Asma bi Syuyukh al-Ijazah was-Sama’) dimuat biografi, silsilah-sanad (mata rantai keilmuan), sekaligus jaringan ulama di Mekkah pada abad ke-14 H (awal abad ke-20 M). 

 

Dalam kitab yang disunting oleh Dr Mahmud Sa’id Mamduh (Mesir) dan dicetak di Beirut (2012 M) ini disebutkan banyak ulama Nusantara yang berkiprah dan berpengaruh besar di Mekkah pada masa itu. Di antaranya adalah Syekh Baqir ibn Nur al-Jukjawi al-Makki dari Jogja, Syekh Bidhawi ibn Abdul Aziz al-Lasami dan Syekh Abdul Muhaimin al-Lasami dari Lasem, Jawa Tengah, dari Lasem, Jawa Tengah, serta KH Hasyim Asy’ari al-Jaumbanji al-Jawi dari Jombang, Jawa Timur. 

 

Para ulama Nusantara ini mayoritas memiliki karya tulis dalam pelbagai disiplin ilmu keislaman. Dan sangat besar kemungkinan manuskrip karya-karya ulama Nusantara itu berserak dan tercecer di beberapa perpustakaan di Saudi Arabia saat ini, yang menunggu untuk digali dan diteliti lebih lanjut oleh para santri-filolog muda dari Nusantara. 


Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan