Nasional

Kiai Afifuddin Muhajir: Perdagangan Karbon Sah Secara Fiqih

Kam, 9 September 2021 | 16:00 WIB

Kiai Afifuddin Muhajir: Perdagangan Karbon Sah Secara Fiqih

Rais Syuriyah PBNU KH Afifuddin Muhajir. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Pada dasarnya, jual beli karbon (carbon trading) tidak jauh berbeda dengan transaksi jual beli yang dilakukan di pasar konvensional.


Hanya saja, komoditas yang diperjualbelikan berbeda, yaitu emisi karbon. Menurut Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Afifuddin Muhajir, jual beli karbon hukumnya sah secara fiqih.


“Perdagangan karbon tidak ada masalah dalam syariat Islam. Karena bentuknya kompensasi dari pihak yang telah melakukan kerusakan alam, atau sebagai transaksi jual beli antara kedua belah pihak,” jelas Kiai Afif saat mengisi Bahtsul Masail Nasional bertajuk Pajak dan Perdagangan Karbon yang digelar secara daring, Kamis (9/9/2021).


Kiai Afif menguraikan bahwa dalam diskursus fiqih, transaksi jual beli karbon ini sah melalui dua pendekatan. Pertama, adanya bentuk kompensasi yang wajib dibayar bagi pihak penghasil karbon kepada negara atau perorangan yang menyerap karbon tersebut.


Dalam pandangan Kiai Afif, pihak (negara) yang menyerap karbon tersebut mendapat semacam kerugian dari karbon yang dilepaskan oleh negara produsen karbon. Status produsen karbon adalah sebagai mufsid (perusak), sementara pihak penyerap karbon adalah mushlih (yang memperbaiki).


“Memang bahasanya perdagangan global. Tapi, sesungguhnya ini merupakan kompensasi yang harus dibayar oleh pihak perusahaan sebagai penghasil karbon,” tutur kiai peraih gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang itu.


Dijelaskan Kiai Afif, dasar atas konsekuensi ini berdasarkan hadits Nabi soal penjagaan lingkungan yang berbunyi, lâ yabûlanna ahadukum fil mâ’iddâ’im alladizî lâ yajrî. (Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di dalam air yang tidak mengalir).


“Kalau kencing, hanya tergolong pencemaran. Akan tetapi, tindakan yang bisa menaikkan emisi pemanasan global dan lain sabagainya, bukan hanya pencemaran lingkungan. Tetapi lebih sebagai bentuk perusakan di atas bumi,” paparnya.


Kiai Afif juga mengutip salah satu kaidah fiqih sebagai penguat argumennya, yaitu man yulawwith fadfa’. Barang siapa melakukan pencemaran lingkungan, ia harus membayar (ganti rugi).


“Dalam kaidah lain juga disebutkan, kullu khata’in sabbaba dhararan lilghairi yulzimu man irtakabahu at-ta’wîdh. Tiap-tiap kesalahan yang menimbulkan dampak bahaya, menyebabkan pelakunya harus membayar konvensasi dan kerugian,” imbuhnya.


Pendekatan kedua, lanjut Kiai Afif, dengan mengkategorikan perdagangan karbon sebagai bentuk transaksi antardua belah pihak, yaitu antara perusahaan penghasil karbon dan pihak pemilik utang yang menyerap karbon.


“Hal ini ditandai dengan sertifikat setelah dilakukan klarifikasi bahwa mereka benar-benar memiliki utang,” pungkas Kiai Afif.


Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Musthofa Asrori