Nasional

Doktor Kehormatan Kiai Afifuddin Muhajir, Ketua PBNU: Langkah Cermat dan Tepat UIN Walisongo

Rab, 20 Januari 2021 | 10:45 WIB

Doktor Kehormatan Kiai Afifuddin Muhajir, Ketua PBNU: Langkah Cermat dan Tepat UIN Walisongo

Ketua PBNU H Robikin Emhas menilai penganugerahan doktor kehormatan untuk Kiai Afif merupakan langkah cermat dan tepat UIN Walisongo Semarang. (Foto: Humas UIN Walisongo)

Jakarta, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Afifuddin Muhajir mendapat anugerah doktor kehormatan bidang fiqih dan usul fiqih dari Fakultas Syari’ah UIN Walisongo, Semarang, pada Rabu (20/1).

 

Ketua PBNU H Robikin Emhas menilai penganugerahan doktor kehormatan untuk Kiai Afif merupakan langkah cermat dan tepat UIN Walisongo Semarang.

 

"Penganugerahan dan penghargaan akademik kepada kiai yang suluh dan faqih sekelas Kiai Afif merupakan langkah cermat dan tepat. UIN Walisongo cukup jeli dalam mencermati keilmuan dan kepakaran beliau. Semoga menginspirasi bagi generasi ulama berikutnya," katanya.

 

Ia menyampaikan tahniah dengan iringan doa kesehatan selalu menyertai kiai penulis kitab Fath al-Mujib al-Qarib Syarh Matan al-Taqrib itu.

 

"Selamat Kiai. Teriring doa dari kami para santri, semoga kiai senantiasa sehat, panjang umur, dan terus menjadi obor bagi kehidupan," ujarnya.

 

Robikin menilai pandangan Kiai Afif seputar persoalan fiqih kontemporer mencerahkan. Pandangannya mengenai
NKRI menurut syariat, misalnya. 

 

Menurutnya, NKRI tidak bertentangan dengan syariat karena berdasarkan istiqrā’ tidak ditemukan sama sekali ayat maupun hadis yang bertentangan dengan lima silanya. Kedua, ia sesuai dengan syari’at karena berdasarkan istiqrā’ juga ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang selaras dengan kelima silanya. Ketiga, ia adalah syari’at itu sendiri.

 

Lebih lanjut, Robikin menyampaikan bahwa Kiai Afif pun memiliki beberapa poin kesimpulan. Pertama, NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah bersifat syar‘i, yakni sesuai dengan syari’at Islam baik dalam nashūsh maupun maqāshid.

 

Kedua, Pancasila bukan penghalang (māni‘) untuk menerapkan aturan syariat di negara yang berlandaskan atasnya.

 

Ketiga, Konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai dasar negara adalah seluruh Undang-undang negara tidak boleh bertentangan dengan salah satu dari sila Pancasila.

 

Keempat, Republik Indonesia adalah negara kesepakatan yang berdiri di atas asas yang mendapatkan kesepakatan.

 

Kebernasan Kiai Afif, lanjut Robikin, antara lain dapat dilihat jejaknya saat ia harus menjelaskan ulang maksud dari penyebutan non-Muslim di Indonesia, menyusul berbagai reaksi dan tanggapan atas hasil Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Banjar, Jawa Barat, tahun 2019 lalu. 

 

Kiai Afif yang notabene merupakan salah seorang perumus bahtsul masail dengan kalem, sabar, namun sistematik, menjelaskan kembali duduk perkara tema itu. Melalui sebuah video singkat, ia menjelaskan asal-muasal kesalahpahaman yang memicu perdebatan di publik.

 

"Perlu diketahui bahwa bahstul masa’il Munas itu tidak membahas tentang apakah non-muslim yang ada di Indonesia ini kafir apa bukan. Akan tetapi yang dibahas adalah kategori apakah mereka itu harbi, apa mu’ahad, apa musta'man, apakah dzimmi," urai Kiai Afif, yang lagi-lagi begitu rapi dan auto mencerahkan. 

 

Uraian Kiai Afif saat itu kurang lebih menegaskan bahwa hasil bahtsul masail menyimpulkan kategori mereka itu bukan harbi, bukan mu’ahad, bukan musta'man, bukan pula dzimmi. Hal itu karena memang definisi-definisi tersebut tidak bisa diterapkan kepada non-muslim yang ada di Indonesia. 

 

“Karena itulah istilah yang lebih tepat, katakan saja mereka itu non-Muslim," ujar kiai kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur 65 tahun lalu itu

 

Kiai Afif yang kalem dan berpenampilan sederhana ini layaknya umumnya kiai NU, senantiasa menghadirkan dirinya dalam ekspresi Islam yang ramah, santun, dan meneduhkan.

 

Meski kealimannya masyhur dari kalangan pesantren hingga perguruan tinggi, kesehariannya nyaris tanpa embel-embel “protokol” layaknya tokoh publik. 
     

Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan