Jakarta, NU Online
Rumah sakit NU harus memiliki ciri khas yang membedakannya dengan rumah sakit lain. Hal itu ditekankan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj saat mengisi sambutan Pelantikan dan Rapat Kerja Asosiasi Rumah Sakit Nahdlatul Ulama (ARSINU) di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (7/12) siang.
Menurut Kiai Said, ciri rumah sakit NU adalah Islami. Maka secara umum hal apa pun bila mendasarkan iman kepada Allah SWT sudah disebut Islami.
“Segala sesuatu yang berdasarkan iman kepada Allah, maka disebut Islami. Misalnya bank yang menerapkan kejujuran, itu sebenarnya Islami,” kata Kiai Said kemudian menyebut bahwa contoh bank syariah yang paling maju justru berada di Inggris.
Kaitannya dengan rumah sakit NU, ciri itu hendaknya diperkuat lagi dengan muatan NU.
“Dalam keseharian ada nilai-nilai Islam. Misal saat dilakukan operasi, di luar ruang operasi ada yang membacakan salawat badar. atau istighotsah. Perawat dan dokternya ketika akan menangani pasien, mengucapkan doa dan tawasul,” tambah Kiai Said.
Kiai Said juga mendorong adanya pengobatan yang menjadi tradisi turun temurun yang diharapkan bisa diterapkan oleh rumah sakit NU.
“Di China ada rumah sakit yang mempertahankan tradisi tusuk jarum, selain memakai peralatan dan metode modern. Mengapa kita tidak menjunjung tradisi pengobatan yang kita miliki,” ujar Kiai Said pada acara yang dihadiri juga oleh perwakilan ARSINU seluruh Indonesia.
“Di Indonesia ada kumis kucing, mengkudu, cimplukan dan tanaman-tanaman lainnya yang berkhasiat obat. Itu bisa dikembangkan secara ilmiah untuk menjadi ciri pengobatan ala NU,” saran Kiai Said.
Kiai Said berkeyakinan, pengobatan yang baik tidak sekadar berasal dari Barat. Bahkan ia mengkritisi adanya pihak-pihak yang menganggap bahwa yang disebut ilmu adalah ilmu dari Barat.
“Padahal bisa jadi orang Barat malah kagum dengan kesederhanaan orang Timur,” katanya.
Kiai Said berpesan, kelokalan dan ciri khas itu adalah warisan yang harus dikelola. “Kalau enggak, warisan itu akan habis atau jadi barang antik. Padahal warisan mulia itu bisa menjadi rahmat dan kekuatan kita bersama.” (Kendi Setiawan/Fathoni)