Nasional

Kisah Bennaya dan Bryan, Siswa Katolik yang Ikut Mondok di Buntet Pesantren

Sab, 29 Oktober 2022 | 14:00 WIB

Kisah Bennaya dan Bryan, Siswa Katolik yang Ikut Mondok di Buntet Pesantren

Interaksi Benayya, Bryan, dan kawan-kawan dengan sejumlah santri di Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat. (Foto: NU Online/Syakir NF)

Cirebon, NU Online

Tak ada kata begadang dalam kamus Bennaya Jonathan Raja Partogi Siagian selama ini. Namun, kata itu muncul saat tinggal di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah, Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat awal Oktober 2022 lalu. Siswa beragama katolik dari SMA Kolese Kanisius Jakarta itu mengikuti rekan-rekan santri yang mendapat jadwal bertugas meronda, berjaga-jaga di pesantren sekaligus membangunkan santri-santri lain untuk melaksanakan shalat subuh.


Pengalaman itu memberikan kesan mendalam bagi Bennaya. Tentu saja tidak hanya berjaga, mereka berbincang mengenai banyak hal, mulai dari dunia persepakbolaan, keseharian di pesantren, cerita mistis nan horor, hingga diskusi mengenai agama masing-masing.


Pesantren sedikit berbeda dalam bayangan awalnya. Ia melihat di instagram banyak handphone yang dihancurkan di pesantren karena menjadi bagian dari pelanggaran. Ia sendiri khawatir tidak dapat beradaptasi karena ketegasan dan kekakuan peraturan pesantren itu.


“Ternyata kita di sana santai. Diterima dengan baik. Aturan memang tegas, tapi tidak menyeramkan. Mereka mengingatkan dengan penuh kelembutan,” katanya kepada NU Online pada Kamis (27/10/2022).


Saat begadang itu pula, Bennaya melihat para santri mencuci baju dan menjemurnya. Ia kagum melihat hal tersebut karena mereka masih memiliki waktu untuk melakukan hal tersebut, sedangkan dirinya tidak pernah melakukan hal itu.

 

Beberapa di antara para santri juga, pada malam tersebut, masih tampak berdiskusi berdua-dua, seperti saling membicarakan atau mengoreksi hafalan pengajian yang telah mereka lakukan. Padahal jam sudah menunjuk angka 2 pagi. Hal tersebut menyentuh hatinya yang masih kerap bolos dan tidur saat melakukan misa.


“Kita di sini ibadah minggu saja masih tidur, bolos. Sementara teman-teman santri harus bangun subuh,” kata siswa kelas XII IPA itu.

 

Benayya dan kawan-kawan SMA Kolese Kanisius dengan beramah tamah dengan santri Buntet Pesantren. (Foto: NU Online/Syakir NF)

 

Etika para santri pun tampak berbeda dengannya. Mereka menghormati orang yang lebih tua dengan cara cium tangan dan berhenti sembari menundukkan kepala terlebih dahulu jika mereka lewat. Perihal cium tangan ini, ia terbawa sampai ke rumahnya hingga hari ini. Saban berangkat sekolah, ia hampir tak lupa selalu mencium tangan kedua orang tuanya.


Baginya, pesantren menjadi gambaran Indonesia mini. Toleransi satu sama lain dijunjung betul karena berbeda latar belakang, bahasa, suku, hingga bau tubuh harus diterima sepenuhnya karena tinggal bersama dalam satu pondok, bahkan dalam satu kamar yang berisi belasan orang.


“Model kecil Indonesia. Kita sama-sama Indonesia. Saling menerima supaya nyaman,” kata remaja 17 tahun itu.


Senada, Ignatius Bryan Chai juga mengaku, bahwa pesantren memberikan kesan mendalam. Apalagi, ia diaku sebagai saudara para santri di pesantren tersebut. Berulang kali para santri meneriakkan kata-kata demikian. Ketika ditanya, “Siapa kita?” mereka menjawab, “Nadwatul Ummah!” dan ketika nama “SMA Kanisius” disebutkan, mereka serentak menjawab, “Saudara kita!”


Kata-kata itu menyentuhnya sebagai orang yang jelas berbeda dengan para santri, baik dari sisi agama, suku, etnis, maupun bahasa. Hal tersebut sekaligus mengonfirmasi dan membuktikan sendiri, bahwa pesantren memang betul-betul aman, tidak ada hal negatif yang selama ini ramai dibincangkan di media sosial.


Dalam bayangan awal, Bryan berpandangan bahwa para santri hanya fokus belajar agama setiap hari. Namun ternyata mereka juga bersekolah sebagaimana dirinya bersekolah, dan mempelajari pengetahuan-pengetahuan umum. Dalam hal ini, Bryan dan 19 rekannya berkunjung ke Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra Buntet Pesantren.


Kehadirannya di pesantren tentu bukan sekadar memberikan pengetahuan tentang pesantren dengan mata kepala sendiri. Lebih dari itu, ia dan rekan-rekannya, serta para santri bisa saling memahami satu sama lain. Pemahaman tersebut juga meningkat menjadi saling menghormati dan berujung pada saling mendukung satu sama lain.


“Kita memang berbeda, tetapi kita bisa bekerja bersama untuk menyelesaikan masalah,” kata siswa kelas XII IPA berusia 16 tahun itu.


Keberagaman itu fitrah

Pengasuh Pondok Pesantren Nadwatul Ummah KH Muhammad Faris El Haq Fuad Hasyim menyampaikan, bahwa penerimaan pesantren terhadap masyarakat non-Muslim karena teladan Rasulullah saw yang menghargai sesama manusia, meskipun berbeda.


“Kita mengajarkan Islam baik kepada santri kita. Sebab, akhir-akhir ini, banyak orang Muslim mengaku Islamnya paling benar dan menganggap orang lain salah, serta menganggap selain Islam harus diperangi, itu tidak benar,” jelas Kiai Faris.


Sebab, keberagaman merupakan fitrah basyariyah, karena Allah swt sendiri menghendakinya. Bahkan, Allah swt tidak pernah menyebut dirinya Allah kepada orang yang belum beriman, tetapi rabb. Sementara bagi orang beriman, baru Allah menyebut dirinya sebagai Allah. “Keberagaman itu fitrah basyariyah yang tidak akan mungkin pernah disingkirkan,” jelas dia.


Oleh karena itu, kehadiran siswa Kanisius bagi santri dapat memberikan pembelajaran untuk saling mengisi dalam proses berbangsa dan bernegara. “Kita saling mengisi untuk pembangunan. Kita memberikan pemahaman bahwa Rasulullah saw humanis,” ujarnya.


Saat berpisah, para santri dan siswa Kanisius pun bersalaman dan berpelukan, saling mendoakan. “Islam sesungguhnya seperti itu. Kita mengajarkan santri mencintai bangsa dan negara,” katanya.


Perbedaan adalah kekuatan

Bennaya dan Bryan merupakan dua dari 20 siswa SMA Kolese Kanisius yang mengikuti program Eskursi di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat. Program tersebut merupakan kegiatan wajib bagi siswa kelas XII SMA Kolase Kanisius.


Siswa kelas XII SMA Kanisius Jakarta ini tersebar di 12 pesantren, yakni (1) Nadwatul Ummah Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat; (2) Nur El-Falah Kubang Petir Serang, Banten; (3) Al-Marjan Lebak, Banten; (4) Modern Syahid Leuwiliang Bogor, Jawa Barat; (5) Cinta Rasul Bogor, Jawa Barat, (6) Al-Mizan Jatiwangi Majalengka, (7) Al-Ittifaq Ciwidey Bandung, (8) Al-Hikmah Kresek Tangerang, (9) Darul Arqam Garut, (10) Al-Furqan Garut, (11) Al-Furqan Singaparna Tasikmalaya, dan (12) At-Tajdid di Singaparna Tasikmalaya.


Humas Eskursi Jacobus Hartono menyampaikan, bahwa keragaman merupakan kekuatan yang harus dibangun dan ditanamkan sejak dini. Perbedaan itu harus disadari bersama, tetapi tidak menutup untuk membangun kerja sama untuk memperkuat kesatuan bangsa.


Karenanya, ia sengaja menempatkan siswa-siswanya di pesantren-pesantren yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Karena dua organisasi ini yang menjadi benteng kebangsaan Indonesia sejak sebelum merdeka.


Sebelum tinggal di pesantren, para siswa ini dibekali terlebih dahulu mengenai dunia pesantren dan kebangsaan dalam perspektif NU, Muhammadiyah, dan Katholik.


Program ini dilaksanakan agar siswanya dapat mengalami sendiri, merasakan sendiri, melihat sendiri, bukan katanya. “Anak kami kan beda. Yang ke pesantren, non-Muslim. Yang muslim kita bawa ke Seminari. Jadi, benar-benar beragam,” katanya.


“Anak-anak kami, akhirnya oh ya ya seperti ini. Mereka bisa merasakan bangun jam 3 pagi, memuji Tuhan. Malu kami tidak memuji Tuhan. Untuk menguatkan imannya masing-masing. Mereka rajin membaca kitab suci. Sendirinya tidak pernah,” kata guru bahasa Inggris itu.


Kehadiran siswanya juga memberikan warna bagi santri sehingga mereka tahu perbedaan Kristen dan Katolik yang semula dianggap sama. Para santri juga dapat bertemu dan mengalami langsung berinteraksi dengan non-Muslim.


“Mengalami langsung berbeda dengan pembelajaran di kelas. Tidak ada prasangka-prasangka,” katanya.

 

Salah seorang pengurus pondok sedang merangkul hangat Benayya sesaat setelah kegiatan di Buntet Pesantren. (Foto: NU Online/Syakir NF)

 

Senada, Ketua Eskursi 2022, Pujiasih juga menyampaikan, bahwa pesantren membuka pikiran dan memberikan mereka pengalaman yang sangat berkesan. Ia mengaku bangga setelah melihat presentasi mereka sepulang dari pesantren masing-masing.


“Benar-benar membuka mata mereka. Tidak seperti dalam pemberitaan. Mereka mengalami langsung. Mereka mempunyai cara pandang yang baru. Kami senang banget mendengarkan mereka,” ujar guru bahasa Indonesia itu.


Setelah menyelesaikan program tersebut, seluruh siswa harus membuat esai sebagai produk yang diintegrasikan sosiologi dan PKN. Mereka harus presentasi di kelas dengan audiens siswa kelas X dan XI.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad

 

====================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI