Nasional

Kisah Kiai Noer Dirikan Ma’had Aly untuk Kader Ulama

Sab, 13 November 2021 | 05:00 WIB

Kisah Kiai Noer Dirikan Ma’had Aly untuk Kader Ulama

Pendiri Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, Almaghfurlah KH Noer Muhammad Iskandar. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Pendiri Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, KH Noer Muhammad Iskandar, dikisahkan memiliki cita-cita luhur, yaitu menciptakan kader-kader ulama di Indonesia. Hal itu ia realisasikan dengan mendirikan Ma’had Aly Sa’iidushhiddiqiyah Jakarta, sebuah perguruan tinggi berbasis pesantren.


“Pesantren Asshiddiqiyah memiliki idealisme yang luar biasa, yaitu setelah jadi santri harus ada pendidikan lebih tinggi (berbasis pesantren), dan itu yang terwujud menjadi Ma’had Aly,” terang Kasubdit Pendidikan Diniyah dan Ma’had Aly Direktorat PD Pontren Ditjen Pendis Kemenag, Aceng Abdul Azis, pada wisuda perdana di Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta, Kamis (11/11/2021).


Cita-cita Kiai Noer untuk mengkader ulama tersebut juga dikonfirmasi oleh Mudir I Ma’had Aly Sa’iddusshiddiqiah Jakarta KH Abdul Kholiq. Menurut dia, Kiai Noer memiliki tiga cita-cita dalam mendirikan Ma’had Aly. Pertama, menciptakan kader-kader ulama di Indonesia.


“Waktu itu Kiai Noer satu visi dengan KH Hasyim Muzadi yang saat itu merupakan Ketua Umum PBNU. Dengan banyaknya ulama yang wafat, keduanya bersepakat untuk mendirikan perguruan tinggi berbasis pesantren,” terang Kiai Kholiq kepada NU Online melalui sambungan telepon, pada Jumat (12/11/2021).


Cita-cita kedua, lanjut dia, mengkader para santri untuk menjadi pendiri-pendiri pesantren. Ketiga, jika belum bisa menjadi pendiri pesantren, minimal lulusan Ma’had Aly menjadi tenaga pengajar di pesantren-pesantren.


“Mengingat mereka adalah santri, maka Kiai Noer bercita-cita agar kelak lulusan Ma’had Aly bisa jadi pendiri dan pengasuh pesantren,” ungkap Kiai Kholiq.


Pada mulanya, Kiai Noer dan KH Hasyim Muzadi bersepakat untuk bersama mendirikan perguruan tinggi berbasis pesantren bernama Ma’had Aly. Hanya saja, karena nama Ma’had Aly sudah didahului oleh KH R As’ad Syamsul Arifin untuk mendirikan Ma’had Aly Situbondo, KH Hasyim Muzadi pun meneruskan untuk mengurus Universitas Nahdlatul Ulama (UNU).


“Jadi, awalnya mau bersama-sama mendirikan Ma’had Aly, malah Kiai Noer maju sendiri karena KH Hasyim Muzadi sudah ada Universitas Nahdlatul Ulama (UNU),” ujar Abdul Kholiq.


Peduli pendidikan
Jauh sebelum mendirikan Mah’ad Aly di pesantrennya, Kiai Noer sudah dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia pendidikan. Salah satunya, saat STAINU Jakarta (sekarang Unusia) pertama kali berdiri, belum memiliki ruang kelas, Kiai Noer pun tanggap.


Kiai kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur itu merespons cepat dengan menyediakan fasilitas untuk kegiatan perkuliahan kampus tersebut. Beliau berinisiatif menggunakan sebagian lahan di pesantrennya untuk digunakan sebagai tempat perkuliahan.


“Saat itu, STAINU Jakarta belum memiliki tempat representatif untuk perkuliahan. Di samping belum cukup modal untuk membeli tanah. Kebetulan Kiai Noer sangat dekat dengan KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU waktu itu,” ujar Abdul Kholiq.


Bahkan, lanjut Abdul Kholiq, untuk mempermudah administrasi, Kiai Noer memberi keterangan tertulis bahwa tanah yang digunakan perkuliahan itu merupakan milik STAINU sendiri.


“Setelah NU semakin besar, barulah dipindah ke gedung PBNU pusat. Sejak saat itu, Kiai Noer mulai mendirikan Ma’had Aly sendiri,” ungkap Abdul Kholiq.


Sebagai informasi, Kiai Noer telah mendirikan sebelas pesantren yang tersebar di berbagai daerah. Yaitu, Asshiddiqiyah Pusat di Kebon Jeruk, Jakarta Barat; Asshiddiqiyah 2 di Batuceper, Tangerang, Banten; Asshiddiqiyah 3 Cilamaya Wetan, Karawang, Jawa Barat; Asshiddiqiyah 4 di Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat.


Asshiddiqiyah 5 di Jonggol, Bogor, Jawa Barat; Asshiddiqiyah 6 di Setu Kota, Tangerang Selatan, Banten; Asshiddiqiyah 7 di Cijeruk, Bogor, Jawa Barat; Asshiddiqiyah 8 di Tungkal Jaya, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan; Asshiddiqiyah 9 di Gunung Sugih, Lampung Tengah; Asshiddiqiyah 10 di  Sukaresmi, Cianjur, Jawa Barat; dan Asshiddiqiyah 11 di Gunug Labuhan, Waykanan, Lampung.


Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Musthofa Asrori