Nasional

Komisioner KPAI: Penanganan Korban Kejahatan Seksual Harus Tuntas

Ahad, 12 Desember 2021 | 09:00 WIB

Komisioner KPAI: Penanganan Korban Kejahatan Seksual Harus Tuntas

Komisioner KPAI Margaret Aliyatul Maimunah. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online 
Maraknya pemberitaan kasus kejahatan seksual terhadap perempuan yang mencuat akhir-akhir ini menyita perhatian publik. Salah satunya yang terjadi kepada belasan murid rumah tahfidz di Bandung, Jawa Barat. Dikabarkan, sejumlah murid yang berada pada rentang usia 13-17 tahun tersebut menjadi korban pemerkosaan oknum gurunya sendiri, Herry Wirawan.


Menanggapi hal tersebut, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah mengatakan, korban kejahatan seksual harus menerima penanganan sampai beres.


“Dari kasus ini, yang paling penting penanganannya harus tuntas dan tidak boleh setengah-setengah,” ujar Margaret kepada NU Online, Sabtu (11/12/2021) malam.


Perlunya dipastikan korban kejahatan seksual mendapatkan penanganan yang tuntas lantaran dampak psikologis yang harus ditanggung para korban tersebut merupakan beban berat yang memerlukan waktu tidak sebentar pada proses penyembuhannya.


“Kekerasan seksual menyebabkannya mengalami dampak psikologis luar biasa, seperti ketakutan, stres, depresi, trauma, merasa tidak berguna, merasa kotor, merasa bahwa masa depannya hancur, dan lain sebagainya,” urai Margaret.


“Dampak psikologis tersebut dapat terjadi pada waktu yang sangat lama, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun,” imbuh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Fatayat NU ini.
 

Margaret juga menyebut bahwa segenap pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak wajib melakukan penanganan secara cepat dan tepat.

 

 

“Kasus ini termasuk dalam kasus perlindungan khusus. Bahwa pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak,” tandasnya.


Margaret menerangkan, upaya penanganan atau perlindungan yang dilakukan setidaknya ada empat langkah. Pertama, mengedukasi kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan. Kedua, adanya rehabilitasi sosial.


“Ketiga, pendampingan psikososial pada saat pengobatan hingga pemulihan. Keempat, perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai sidang di pengadilan,” paparnya.


Perempuan asal Jombang Jawa Timur ini juga menambahkan, ikhtiar kolektif dari sejumlah pihak sangat diperlukan untuk dapat mencegah terjadinya kembali kejahatan seksual.


“Upaya pencegahan terhadap kasus tersebut tidak bisa dilaksanakan oleh satu pihak saja, tentunya ada 6 pilar penanggung jawab perlindungan anak pada UU Perlindungan Anak Pasal 20, di antaranya bahwa negara, pemerintah, pemda, masyarakat, keluarga, dan orang tua,” pungkasnya.


Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Musthofa Asrori