Sudah sejak lama saya menyukai gaya komunikasi langsung; berbicara secara tatap muka dan mata. Sebab dengan begitu, kita akan mudah mendeteksi sebuah kejujuran. Mimik wajah akan tersorot dengan spontan manakala ada kebohongan yang menyergap obrolan.
Komunikasi langsung dengan tatap muka dan mata, di era milenial ini kurang mendapat perhatian serius. Massifnya keberadaan media sosial, membuat orang enggan atau malas bertemu untuk membicarakan sesuatu. Semua dilakukan melalui layar smartphone.
Lambat laun, muncul sebuah ketakutan untuk berbicara secara langsung. Terlebih tema yang akan dibahas merupakan persoalan yang sangat serius. Saya menduga, orang-orang zaman now punya penyakit yang cukup aneh, yakni merasa takut bertemu orang. Atau, merasa tidak pede untuk mengemukakan pendapat secara langsung.
Media sosial, menurut hemat saya, mulai menggerus keberanian banyak orang. Kemudian perlahan telah mematikan semangat hidup untuk terus bersilaturahim atau bertemu, saling menyambangi dan mengunjungi satu sama lain. Dunia sudah berubah. Kita akan menemukan suatu tatanan dunia baru yang sepi kala di kehidupan nyata, tetapi riuh-gaduh di maya.
Kita menjadi pengecut. Menjadi serba takut menghadapi orang lain. Padahal, tidak demikian yang diajarkan agama. Dalam Islam, atau mungkun pada setiap agama, yang dimaksud silaturrahim adalah bertemu wajah dan fisik. Bukan teks dalam pesan singkat aplikasi yang terdapat di smartphone.
Penegasan itu disampaikan pula oleh salah seorang Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Adib Rofiuddin Izza, saat menghadiri Temu Alumni Buntet Pesantren Cirebon di Hotel Ayong, Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Ahad (31/12).
"Yang namanya silaturahim itu ya ketemu. Bukan lewat hape. Enggak bener itu kalau silaturahim via hape. Santri sekarang, banyak gaya kalau di dunia maya. Kalau ketemu kiai, bukannya minta nasihat tapi malah minta foto. Diposting di media sosial, ditulis seolah-olah merasa paling dekat dengan ulama," kata Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren Cirebon (YLPI-BPC) itu.
Dari keterangan KH Adib di atas, kita bisa simpulkan bahwa melakukan komunikasi melalui smartphone atau berselancar di media sosial hendaknya dibarengi dengan keaktifan di kehidupan nyata. Kalau tidak, maka akan timbul keberanian semu.
Dalam bahasa sehari-hari, "Di medsos galak, aslinya penakut".
Hal itu menjadi penyakit anak-anak muda zaman sekarang.
Tahun 2018 hingga 2019, menjadi tahun politik. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak dan Pemilihan Presiden (Pilpres) menjadi bayang-bayang keriuhan di media sosial. Parahnya, keriuhan di media sosial menjadi percikan permusuhan yang terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari.
Hampir seluruh hidup kita dipengaruhi media sosial, sehingga saat permusuhan tercipta, kita menjadi lebih enggan bertemu dengan orang lain. Terlebih bersua dengan orang yang berbeda pilihan politik.
Lantas, bagaimana? Saya berpesan agar anak-anak muda NU; baik santri, pelajar, maupun pemuda NU, baik yang berada dalam struktur maupun kultur, untuk mampu memberi pemahaman yang sejuk kepada warganet di media sosial. Jangan justru memperkeruh dengan mengimbuh perkara yang mestinya tidak perlu diangkat.
Sedari dulu, kita tahu bahwa NU menjadi ladang fitnah, tuduhan, dan pemecah-belahan; tetapi para kiai NU tetap sabar mengelola argumentasi yang bertubi-tubi menyergap keharmonisan di tubuh NU. Lebih-lebih, di era digital ini. Fitnah dan tuduhan datang melalui media sosial, tidak jelas siapa pelaku dan pembuatnya. Padahal tidak tabayun atau bahkan belum pernah bersentuhan langsung dengan NU.
Maka, itulah pentingnya berkomunikasi langsung secara tatap muka dan mata. Kita bakal tahu seberapa jujur dan bohongnya lawan bicara. Seperti itu, menurut saya, silaturrahim. Saling memberi senyum keindahan yang menjadi penyejuk jiwa. Sebab, semudah-mudahnya sedekah ialah memberi senyum kepada saudara sendiri.
Kalau di media sosial, memang ada emoticon senyum. Tetapi mungkinkah pemberian emoticon senyum juga berbarengan dengan senyum yang kita sama sekali tidak tahu? Bisa saja tidak demikian.
Maka, media sosial lebih berkecenderungan melahirkan banyak kepalsuan dari komunikasi yang dilangsungkan dengan pertemuan fisik. (Aru Elgete)