Nasional

Konflik Pemuda Lebih Bersifat Simbolik

Sab, 20 Juli 2019 | 05:15 WIB

Jakarta, NU Online
Tak sedikit peristiwa konflik kekerasan yang melibatkan para pemuda di sekitarnya. Bahkan banyak juga aktor-aktor utamanya adalah pemuda itu sendiri, seperti tawuran pelajar, konflik mahasiswa berkaitan perebutan kursi politik kampus, dan sebagainya. Hal tersebut menarik Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) untuk menelusuri lebih lanjut.

Zaenal Muttaqien, koordinator penelitian, menjelaskan bahwa konflik yang melibatkan pemuda lebih bersifat simbolis. “Yang bisa kita lihat, konflik anak muda biasanya konflik simbolis. Biasanya tawuran pelajar, satu sekolah menyewa satu sekolah lain lalu menyerang,” katanya saat mengantarkan diskusi dan bedah buku Pemuda di Lingkungan Konflik Kekerasan Gedung Perpustakaan Nasional lantai 4, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (19/7).

Berbeda dengan orang-orang yang usianya sedikit lebih di atasnya, mereka rata-rata merebutkan hal yang bersifat material, seperti lahan parkir.

Konflik di kalangan mereka juga beralih ke dunia maya, tidak hanya di dunia nyata, konvensional berpindah ke daring (online). Tak ayal di media sosial biasanya konflik simbolik juga, seperti meributkan agama.

Namun, persoalannya, dalam setiap konflik tersebut tidak ada yang berhasil menjadi juru damai. Bahkan terus mengalami eskalasi. Akibatnya, pemerintah langsung memutus jaringannya.

“Aktor juru damainya minim. Relatif nihil. Konflik online cenderung terus mengalami eskalasi. Maka yang dilakukan pemerintah akhirnya aplikasi medsos dishutdown. Tapi belum ada yang hadir sebagai pendamai,” katanya.

Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wariki Sutikno mengungkapkan bahwa konflik terjadi akibat pengaruh lingkungannya.

Environment (lingkungan) dari konflik itu sendiri lebih dominan ketimbang sebab dari identitas,” katanya.

Tetapi identitas itu, lanjutnya, bisa berkembang apabila lingkungan menunjang birokrasi yang tidak fair yang korup yang tidak adil, ketimpangan ekonomi, keberpihakan sosial yang mencolok. “Fairnes dalam kehidupan itu mutlak diperlukan sehingga mengurangi perasaan preferensi berlebihan,” ujarnya.

Konflik sosial, menurutnya, tidak bisa dilihat dengan salah satu faktor saja. Pasalnya, konflik kerap kali disebabkan oleh berbagai macam faktor. Artinya, harus dilihat dari berbagai sisi guna melihat keseluruhannya.

“Konflik sosial tidak bisa dilihat sebagai single factor, tetapi interrelated (saling berkaitan). Karena itu dibutuhkan integrated approach (pendekatan integrasi). Meskipun pemicu dan skalanya berbeda sehingga perlu disesuaikan,” jelasnya.

Sementara itu, Akademisi FISIP Untirta Leo Agustino mengungkapkan bahwa kekerasan bagaimanapun harus bisa diminimalisasi. “Karena kita bicara mengenai kekerasan, paling tidak kekerasan itu berusaha diminimalisir di kemudian hari oleh pemangku kebijakan,” katanya.

Sebab, terkadang, konflik kekerasan juga ada yang lahir dari kebijakan itu sendiri. “Akar konflik dari kekerasan ternyata ada juga yang lahir dari kebijakan,” jelasnya.

Diskusi tersebut juga menghadirkan Budayawan Radhar Panca Dahana. Dalam pembicaraannya, Radar menyebut bahwa buku itu belum berhasil membuka siapa dalang di balik kerusuhan atau konflik yang terjadi. “Layer pertama itu fake truth (kebenaran semu). Real truth-nya (kebenaran sesungguhnya) belum diungkap,” katanya.

Sebab, jelasnya, di Indonesia ini tidak pernah terjadi konflik yang berbasis etnisitas. Sejak ribuan tahun lalu juga tidak pernah ada. Kalau muncul konflik yang katanya disebabkan karena etnik, ia meyakini ada kepentingan lain di dalamnya. “Kalau ada, itu ada kepentingan lain. Kepentingan apa? Kepentingan ekonomi jelas,” katanya. (Syakir NF/Fathoni)