Nasional

Konsep Merdeka Belajar Seperti Naik Ojek Tak Tahu Tujuan

Kam, 30 Juli 2020 | 14:11 WIB

Konsep Merdeka Belajar Seperti Naik Ojek Tak Tahu Tujuan

Ilustrasi merdeka belajar.

Jakarta, NU Online

Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU KH Arifin Junaidi menilai bahwa konsep Merdeka Belajar besutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim belum matang untuk dijalankan. Ia mengibaratkan kebijakan baru ini seperti naik ojek namun tidak tahu arah tujuan yang akan dicapai.


“Kita seperti naik ojek tapi nggak tahu mau kemana tujuannya. Jadi Ma’arif berprinsip dari pada naik ojek tapi tidak tahu kemana tujuannya, lebih baik jalan kaki tapi tahu tujuannya,” ungkapnya, Kamis (30/7) pada diskusi daring bertema Konsep Merdeka Belajar Mau Kemana?


Menurutnya, tidak ada yang baru dari konsep Merdeka Belajar yang katanya diadopsi dari konsep Ki Hajar Dewantara. Program ini ia sebut sebagai kebijakan “copy paste” dari program-program yang selama ini memang sudah dilakukan oleh berbagai elemen pendidikan.


Selama ini Ma’arif pun sudah melakukan konsep merdeka belajar dengan pelaksanaan berbagai macam program kegiatan yang mendukung ke arah tersebut. Ia memberi contoh dengan program kemandirian yang dilaksanakan oleh Ma’arif dalam bentuk pelatihan ribuan kepala sekolah untuk peningkatan kualitas.


“Ma’arif menargetkan akhir Oktober, sebanyak 3.200 kepala sekolah sudah ikut pelatihan yang diselenggarakan oleh Ma’arif. Nantinya para kepala sekolah ini akan melatih para guru dan 20 kepala sekolah di sekitarnya,” bebernya.


Jika ini dipadankan dengan anggaran dana yang digunakan Kemdikbud untuk melatih guru melalui Program Organisasi Penggerak, maka akan menghabiskan dana Rp320 miliar.


Sementara Pengamat Pendidikan UNJ, Abdullah Taruna mengungkapkan bahwa dengan kebijakan ini sebenarnya saat ini telah terjadi krisis moral dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini karena kebijakan Merdeka Belajar yang diusung bukan berorientasi kepada kualitas namun cenderung berorientasi pada keuntungan.


“Ada orientasi mbathi (Bahasa Jawa bermakna mencari keuntungan) dalam kebijakan ini,” katanya. 


Setidaknya hal ini bisa terlihat dari tiga indikator yakni pertama proses pengambilan draft keputusan Merdeka Belajar dilakukan secara tidak demokratis. Kebijakan yang diambil masih dipengaruhi oleh orang-orang di sekeliling Menteri Nadiem yang memiliki kedekatan khusus. 


“Menteri Nadiem mengambil kebijakan rasional semu. Karena jika ditelusuri sebenarnya tidak rasional,” katanya menyebut indikator kedua.


Kebijakan Merdeka Belajar pun menjadi aneh karena Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) tidak dilibatkan alias ditinggalkan. Ini menjadi indikator ketiga karena bagaimanapun berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, LPTK memiliki tugas untuk mendidik para calon guru.


Pewarta: Muhammad Faizin

Editor: Fathoni Ahmad