Nasional

KPAI Sarankan Pemberatan Hukum pada Kasus Habib Bahar

Rab, 19 Desember 2018 | 13:25 WIB

KPAI Sarankan Pemberatan Hukum pada Kasus Habib Bahar

Habib Bahar (Antara)

Jakarta, NU Online
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ai Maryati mengusulkan adanya pemberatan hukum pada kasus penganiayaan yang menjerat Habib Bahar bin Smith. Pasalnya sebagai seorang pelaku, Habib bahar yang dianggap sebagai seorang ulama memiliki kedudukan terpandang tak sepatutnya melakukan kekerasan tersebut.

“Seorang ulama seharusnya memberi contoh yang baik, bukan menganiaya. Belum lagi penganiayaan dilakukan di pesantrean, yang dapat menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi yang menjunjung tinggi akhlaq mulia,” kata Ai Maryati pada NU Online, Rabu (19/12).

Selain itu, Bahar sebagai seorang tenaga pendidik sangat tidak bisa dilakukan pemberatan. “Karena ini dilakukan oleh seseorang yang sifatnya dekat dengan korban, misalnya pendidik korban. Apalagi dia sebagai tokoh ulama yang punya lembaga pendidikan berupa pondok pesantren,” lanjutnya.

Ia meminta aparat kepolisian untuk menyelidiki secara jeli kasus ini. “Polisi harus benar-benar melakukan penyelidikan dengan akurat sehingga bisa menemukan dalil hukum yang jelas untuk kasus ini,” pungasnya.

Sebagai seorang komisioner KPAI, Ai Maryati menekankan pentingnya melakukan penyelidikan dengan menggunakan pendekatan UU Perlindungan Anak, mengingat korban kekerasan pada kejadian ini adalah dua remaja yang masih dalam kategori anak. 

Sebelumnya, Habib Bahar bin Smith ditetapkan menjadi tersangka setelah melakukan penganiayaan pada dua remaja yang masih di bawah usia anak. Polisi telah menyatakan bahwa dua anak mengalami penganiayaan oleh Habib Bahar bin Smith sejak siang hingga malam hari.

Dua korban Habib Bahar mengalami berbagai jenis penganiayaan mulai dari tendangan, tamparan hingga mengeluarkan darah. Sejak beberapa waktu lalu, ramai ditemukan di media sosial aksi kekerasan yang diduga dilakukan oleh Habib Bahar dengan menendangi seorang korban remaja dengan dengkulnya. (Ahmad Rozali)