Nasional

Lima Relasi Penting Wawasan Kebangsaan dalam Islam menurut Gus Nadir

Sel, 7 Juli 2020 | 10:00 WIB

Lima Relasi Penting Wawasan Kebangsaan dalam Islam menurut Gus Nadir

Ilustrasi KH Nadirsyah Hosen (Gus Nadir). (Foto: Dok. IG Husnigeh)

Jakarta, NU Online
Maraknya kelompok radikal yang ingin mengubah ideologi Pancasila harus ditanggapi serius oleh semua pihak karena menyangkut berdirinya negara Indonesia. Setidaknya, ada lima relasi penting tentang wawasan kebangsaan dalam bernegara yang seharusnya dipahami sangat detail.


Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia dan Selandia Baru KH Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) mengatakan hal tersebut dalam webinar ‘Wawasan Kebangsaan dalam Sistem Pendidikan Islam’ yang diinisiasi IAIN Kendari, Senin (6/7) pagi.


"Pertama, relasi Islam dan negara. Maksudnya, memposisikan Islam dengan benar dalam menjalankan kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara. Bukan memanfaatkan Islam untuk alasan kepentingan kelompok atau pribadi. Apalagi sampai mengubah ideologi negara," katanya. 


Kedua, lanjut dia, relasi Islam dan non muslim. Perbedaan kepercayaan lantas tidak dibenarkan semua agama khususnya Islam terjadi permusuhan. Semua penganut kepercayan harus saling menghormati dalam hidup berdampingan saling tolong-menolong sehingga tercipta kehidupan harmonis.


"Ketiga, relasi Islam dan budaya. Misalnya, dalam Ushul Fiqh ada kaidah al-'adah muhakkamah artinya adat istiadat bisa menjadi hukum atau al-'urf. Akan tetapi, ada banyak persoalan terkait Islam dan budaya. Oleh karenanya, ini harus disikapi dengan baik-baik," bebernya.


Baca juga: Gus Nadir: Indonesia Terbentuk dari Keberagaman, bukan Keseragaman

    

Keempat, lanjut Gus Nadir, adalah relasi Islam dan ketimpangan sosial, di mana semua sila Pancasila harus diwujudkan bersama-sama yang merupakan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Bukan justru hendak menggantinya.


"Misalnya, data menunjukkan ada 80 persen aset bangsa, seperti sumber daya alam (SDA). Ini hanya dikuasai oleh segelintir pihak, sekitar lima persen saja dari jumlah penduduk Indonesia. Ini merupakan ketimpangan sosial dalam relasi Islam yang harus disikapi dengan benar. Yakni, merujuk pada sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," jelasnya.


Menurut Gus Nadir, perlu membekali anak didik untuk tanggap terhadap ketimpangan-ketimpangan sosial seperti mengajak berzakat dan bersedekah. Tentu dalam hal ini menjadi tanggung jawab bersama. Khususnya para guru pengajar, serta tidak kalah penting juga cerminan buku pelajaran yang menjadi moda pendidikan di sekolah-sekolah.


"Kelima, relasi Islam dan pemikiran. Karena sedikit-sedikit kalau kita berbicara tentang pemikiran, langsung dituduh liberal. Jadi, relasi Islam dan pemikiran ini penting bagaimana kita harus terbiasa berbeda pandangan terhadap sesuatu yang beragam dan tidak perlu kita paksa menjadi seragam.  


Putra ulama Fikih Indonesia Prof KH Ibrahim Hosen ini berharap, kelima relasi Islam tersebut dapat masuk ke buku pelajaran anak didik di sekolah-sekolah dan kampus. Ia khawatir jika kelima relasi tidak dibahas dan diterapkan, akan menimbulkan ‘ruang kosong’ yang bisa diisi pihak-pihak berseberangan. 

    
"Pihak berseberangan itu kita lihat sekarang banyak mengatakan Islam sedang diserang, Islam sedang dizalimi, pemerintah thagut. Ujung-ujungnya, kita disuruh mengganti ideologi negara," pungkasnya.


Kontributor: Mochamad Ronji
Editor: Musthofa Asrori