Nasional

Margaret dan Ai Maryati Jadi Kandidat Ketum Fatayat NU

Rab, 13 Juli 2022 | 20:00 WIB

Margaret dan Ai Maryati Jadi Kandidat Ketum Fatayat NU

Margaret Aliyatul Maimunah dan Ai Maryati Sholihah (Foto: Tangkapan layar TVNU)

Jakarta, NU Online
Margaret Aliyatul Maimunah dan Ai Maryati Sholihah masuk menjadi kandidat Ketua Umum Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) periode 2022-2027. Agenda pergantian pimpinan pusat organisasi pemudi NU ini bakal berlangsung pada Kongres XVI Fatayat NU di Jakabaring Sport City (JSC) Palembang, Sumatera Selatan 14-17 Juli 2022.


Masing-masing kandidat membawa komitmen untuk membuat terobosan baru dalam organisasi. Seperti Margaret, ia mengatakan alasan ia siap menjadi ketum Fatayat NU karena merasa terpanggil untuk lebih berkecimpung dalam program strategis Fatayat NU bagi kemaslahatan umat.


“Saya memiliki keterbatasan wewenang, berbeda dengan ketum sebagai pemegang kebijakan utama. Sehingga, saya yang saat ini sudah menjadi sekum (sekretaris umum), terdorong untuk menjadi ketum. Harapannya ingin berbuat lebih,” ungkapnya dalam video wawancara di kanal YouTube TVNU, Selasa (12/7/2022).


Sedikitnya, terdapat tiga gagasan utama yang ia bawa untuk maju mencalonkan diri menjadi ketum selama 5 tahun ke depan. Pertama, penguatan sistem kaderisasi. Perempuan asal Jombang ini mengaku ingin menguatkan sistem kaderisasi dalam tubuh Fatayat NU.


Menyoal itu, putri dari Allahuyarham KH Mohammad Faruq Jombang itu menilai perlu ada upaya yang lebih masif terkait kaderisasi. Kaderisasi, sambungnya, merupakan ruh dari organisasi.


“Melalui ini kita bisa membuat kader memahami organisasinya, bergerak untuk penguatan organisasinya,  meningkatkan komitmen sehingga bisa membentuk kader yang militan,” jabarnya.


Kedua, penguatan sebagai sumber rujukan keislaman, utamanya pada kajian anak dan perempuan. Ia berpendapat, perlu adanya penguatan terkait beberapa isu perempuan dan anak terkini yang dapat dikaji melalui forum bahtsul masail. Hal tersebut, lanjut dia, dinilai dapat menguatkan peran Fatayat NU sebagai rujukan terkait isu terkait.


“Kita hampir tidak pernah ada bahtsul masail untuk beberapa isu perempuan era kekinian yang itu perlu ditelaah dari perspektif kekinian. Ini penting selanjutnya menguatkan kembali Fatayat menjadi sumber rujukan Islam terkait perempuan dan anak,” katanya.


Ketiga, penguatan pemanfaatan teknologi informasi. Perempuan yang juga Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2017-2022 itu mengatakan bahwa penting bagi Fatayat untuk bisa memanfaatkan teknologi informasi dengan baik. Hal ini diyakininya bakal memuluskan prosesi syiar dakwah yang akan disampaikan.

 
“Pemanfaatan teknologi digital, arahnya adalah mendorong media Fatayat. Hal lain lagi yang juga menjadi concern adalah terkait Fatayat sebagai sumber pengetahuan Islam,” katanya.


Magister jebolan Universitas Indonesia (UI) di bidang Program Studi Kajian Wanita itu menegaskan, beberapa perhatian tersebut tak lantas mengesampingkan program-program lain yang telah dikawal Fatayat selama ini.


“Bukan berarti isu perempuan terkait kemandirian ekonomi, kesehatan reproduksi, dakwah itu ditinggalkan. Apa yang sudah dilakukan Fatayat saat ini lakukan bisa kita jaga untuk terus dilanjutkan, tetapi kita melakukan penguatan di beberapa isu yang disampaikan,” pungkasnya.


Visi Ai Maryati Sholihah

Sementara Ai Maryati Solihah memiliki perhatian terhadap reorganisasi sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Fatayat NU. Ia menuturkan,  salah satu capaian kesejahteraan sebuah bangsa sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang diukur melalui indeks pembangunan manusia maupun pembangunan gender (persamaan laki-laki dan perempuan).

 

"Hingga saat ini IPM Indonesia masih dalam rerata 71% dibawah IPM laki-laki 75% dan IPM perempuan menduduki 69%. Hal tersebut menunjukkan perlu kerja keras dan kerja cerdas bangsa ini dalam menggapai peningkatan kualitas hidup. Sektor Pendidikan, Kesehatan dan ekonomi menjadi faktor yang menempatkan pencapaian tersebut," ujarnya.

 

Sementara, masalah kesenjangan gender masih saja ada di Indonesia. Misalnya, kesenjangan laki-laki dan perempuan pada peran aktif dalam dunia politik, pengambilan keputusan dan ekonomi. Perempuan dalam panggung parlemen tahun 2019 masih menempati 118 dari 575 anggota DPR RI.

 

Untuk itu, reorganisasi yang efektif pada tubuh Fatayat NU diyakininya akan menciptakan tatanan yang dinamis sehingga Fatayat bisa terlibat dalam perumusan kebijakan strategis, utamanya menyangkut kajian perempuan dan anak.

 

“Membutuhkan reorganisasi di dalam menciptakan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Memastikan kader Fatayat bisa masuk dan terlibat dalam positioning strategis,” ungkap Ai.

 

Hal tersebut, lanjut Ai, bisa terwujud melalui optimalisasi peran Fatayat NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Selain itu, rencana reorganisasi yang diusung juga diharapkan bisa membawa peningkatan indeks pembangunan manusia.

 

“Dengan optimalisasi peran organisasi dan menuju pada peningkatan indeks pembangunan manusia seutuhnya di Indonesia,” paparnya.

 

Menurutnya, Fatayat NU memiliki komunitas khusus, unik dan berkarakter. Dia meyakini, perlu implementasi visi Khittah NU dalam kerangka gerakan Fatayat NU yang bisa dilakukan dengan pertama, mewujudkan kemandirian Gerakan perempuan dalam menguatkan kelembagaan dan SDM jam'iyah Fatayat NU sebagai penggerak Islam washatiyyah.

 

Kemudian, menyiapkan Kepemimpinan perempuan NU yang berkualitas untuk percepatan pembangunan dan demokratisasi di Indonesia serta meningkatkan layanan sosial kemasyarakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menuju pencapaian SDGs dan Indonesia sejahtera.

 

“Peningkatannya adalah bukan hanya agent social change tetapi pada guidening, pendampingan. Di Fatayat ini kami menyiapkan perangkatnya. Saya punya harapan dan optimisme kader Fatayat NU mewujudkan citra diri Fatayat dan menjadi keluarga besar NU,” ucapnya.

 

Dia berharap, Fatayat NU tidak bekerja pada satu kepentingan politik tertentu maupun partai politik tertentu, melainkan berkomitmen kuat terhadap keumatan, kebangsaan dan tegaknya demokrasi di Indonesia.


Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Muhammad Faizin