Nasional

Masa Depan Anak, Tanggung Jawab Bersama

Ahad, 28 Juli 2019 | 08:00 WIB

Masa Depan Anak, Tanggung Jawab Bersama

Ilustrasi anak kecil mengaji

Jakarta, NU Online

Fenomena radikalisme di kalangan anak bukan fenomena baru. Hal itu sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Sebut saja kasus beberapa pemboman beruntun di gereja dan kantor polisi di Surabaya yang melibatkan anak-anak, pada Mei 2018. Demikian pula beberapa keluarga yang bergabung dengan kelompok teroris ISIS di Suriah juga melibatkan anak-anak yang sedang ramai dibicarakan.

 

Dalam level intoleransi, anak-anak kerap pula dilibatkan dalam aktivitas yang sarat dengan ujaran kebencian baik yang dipicu oleh kepentingan politik atau yang lain, seperti yang terjadi di kawasan Jakarta di mana sekelompok anak yang membawa obor meneriakkan yel-yel ‘bunuh Ahok (nama panggilan Basuki Tjahaja Purnama)’ pada Mei 2017.

 

Fenomena itu menunjukkan rentannya kelompok anak usia ana (18 tahun ke bawah) terhadap virus intoleransi, radikalisme dan terorisme. Oleh ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, fenomena tersebut, selain sudah lama terjadi, juga sudah terjadi secara masif. Hal itu dikarenakan, orang dewasa kerap menempatkan anak sebagai objek yang harus memenuhi keinginannya, termasuk mengikuti pandangan politiknya. 

 

“Fenomena itu sudah merata. Sekarang ini anak dieksploitasi kepentingan keyakinan politik orang dewasa dan sebagainya," ujar Arist Merdeka Sirait, di Jakarta, Jumat (26/7).

 

Hal itu, kata Arist Sirait, berpotensi menjerumuskan anak pada perilaku kekerasan seperti aksi terorisme. Padahal, lanjutnya, sebagai penerus bangsa, anak-anak harus dilindungi oleh orang tuanya, keluarga, lingkungan dan juga lembaga pendidikan.

 

Menurutnya, menanamkan paham radikalisme, kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang dekat dari anak tersebut tentunya menambah panjang daftar bahwa anak sangat berpotensi menjadi pelaku kekerasan baik itu di sekolah, di lingkungan tempat tinggalnya maupun di lingkungan sosialnya. “Karena dengan adanya penanaman paham kekerasan oleh orang sekitarnya justru akan meningkatkan tren kekerasan yang dilakukan oleh anak,” ujarnya.

 

Bahkan dirinya mengamati bahwa fonomena penyebaran paham radikalisme kepada anak saat ini sudah parah sekali, Setelah itu ada bentuk-bentuk lain seperti menunjukkan simbol-simbol kekerasan bahwa anak itu berbeda dengan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

 

“Contohnya kejadian bom di beberapa tempat yang terjadi di Surabaya dan Sibolga lalu turut melibatkan anak. Orang tua tentunya juga sudah tidak dapat lagi berfikir rasional. Penanaman paham-paham radikalisme, ujaran kebencian kepada anak-anaktentunya tidak sesuai dengan perkembangan yang dapat meningkatkan tren pelaku dan korban yang berpotensial kepada anak-anak,” ujarnya.

 

Menurutnya, upaya membentengi anak  dari paham radikalisme, terutama harus dilakukan secara bersama-sama,terutama oleh lingkungan yang paling dekat dengan anak yakni keluarga, utamanya orang tua. 

 

“Saya kira rumah harus tetap menjadi rumah yang menanamkan kaidah-kaidah agama yang baik. Jadi tidak mengajarkan yang berbeda dengan kaidah kaidah bangsa kita. Keluarga harus menciptakan rumah yang terus beribadah sesuai dengan kaidah-kaidah agama yang sudah ada,” ujarnya.

 

Selain itu, ia menyarankan untuk mengubah paradigma atau pola pengasuhan yang otoriter menjadi pengasuhan yang dialogis dan partisipatif. “Polanya harus diganti, seperti mendengarkan keluhan anak, memberikan kesempatan anak untuk bercerita dan sebagainya. Itu merupakan metode yang harus dilakukan di dalam proses membangun tumbuh kembang anak. Ini agar anak bisa memahami apa yang sedang terjadi di lingkungannya,” ujarya.

 

Selain keluarga, lembaga pendidikan juga harus dapat menanamkan pendidikan deradikalisasi. Ia memberi berumpamaan; jika ada seorang anak yang menolak hormat bendera, tidak mau menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’, tidak mau tahu konten atau isi dari Pancasila, hal itu, kata dia adalah tanda penolakan terhadap ideologi bangsa.

 

Solusinya, kata dia, diperlukan kurikulum pendidikan deradikalisasi sejak dari tingkat SD sampai jenjang pendidikan menengah atas. “Karena kurikulum pendidikan kita sekarang ini tidak partisipatif dan tidak dialogis. Padahal dialog pada anak dan mendengarkan pendapat anak itu sangat penting," kata dia.

 

Selain itu menurutnya, masyarakat di lingkungan anak juga harus mengambil peran dalam membentengi anak dari paham-paham kekerasan. Masyarakat harus bisa membangun ‘budaya ketimuran’ kita yang selama ini saling memperhatikan. Oleh karena itu gerakan perlindungan anak yang disebutnya sebagai gerakan perlindungan anak sekampung dan sedesa harus dibangkitkan.

 

Pada prinsipnya, ia menegaskan bahwa kondisi yang baik untuk anak harus diciptakan bersama, mulai dari keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat dan terutama pemerintah. Sehingga anak-anak yang merupakan masa depan bangsa terhindar dari penanaman paham-paham kekerasan ataupun doktrin kebencian yang dapat menimbulkan aksi terorisme di kemudian hari. (Ahmad Rozali)