Nasional HARI KESEHATAN MENTAL

Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Situasi Pandemi Covid-19

Sab, 10 Oktober 2020 | 11:20 WIB

Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Situasi Pandemi Covid-19

Salah satu langkah untuk menjaga kesehatan mental adalah melakukan self-care misalnya menjalankan hobi yang disukai, ritual keagamaan yang menenangkan jiwa, menjaga komunikasi dan interaksi sosial dengan orang-orang yang disayangi.

Jakarta, NU Online
Di tengah-tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, bukan saja kesehatan fisik, kesehatan mental pun sama pentingnya untuk dijaga. Psikolog Klinis di UP3 Unusia dan LPT-Universitas Indonesia, Elmy Bonavita Zahro mengatakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mental terutama di tengah-tengah pandemi Covid-19.

 

"Pertama, mengidentifikasi sumber stres (stresor) misalnya apa-apa saja sih yang dapat membuat seseorang stres. Nah, ini biasanya sifatnya personal, jadi perlu dikelompokan stresor mana yang dapat segera dicari solusi kemudian segera dikerjakan," kata Elmy Bonavita, dalam wawancara khusus terkait Hari Kesehatan Mental Dunia, Sabtu (10/10).

 
Kemudian, apabila stresor berada di luar kendali kita maka untuk menyelesaikannya kita tunda dulu, tetapi lebih mendahulukan berkonsultasi dengan pihak yang dianggap dapat membantu. Berikutnya, menyadari batasan diri, apabila terlalu ‘lelah’ untuk menyelesaikan permasalahan sehari-sehari, istirahat sejenak dan lanjutkan kembali saat sudah siap.

 

Langkah selanjutnya dengan melakukan self-care misalnya menjalankan hobi yang disukai, ritual keagamaan yang menenangkan jiwa, menjaga komunikasi dan interaksi sosial dengan orang-orang yang disayangi.


Potensi munculnya persoalan kesehatan mental
Bu Bona, demikian panggilan akrab perempuan asal Kediri Jawa Timur ini menjelaskan potensi permasalahan kesehatan mental sebenarnya muncul pada setiap tahapan usia. Pasalnya setiap perkembangan usia memiliki tuntutan tugas psikosial yang berbeda-beda. Misalnya, anak-anak balita perlu diajarkan kemandirian, tanggung jawab dan empati sejak dini dari hal-hal yang sederhana.

 

"Mengembalikan mainan ke tempat semula, mengucapkan minta tolong saat perlu bantuan, meminta maaf saat melakukan kesalahan dan berterimakasih saat mendapat bantuan. Hal ini dapat meminimalisasi munculnya kepribadian yang tidak sehat. Begitu juga di tahap-tahap selanjutnya," jelasnya.

 

Sekretaris Prodi Psikologi Unusia ini menambahkan hal-hal sederhana ini sebenarnya di dalam Islam juga sudah diatur yakni tentang penerapan akhlakul karimah dalam pengasuhan dan sistem pendidikan. Karena itu, penting peran orang tua dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung manusia sehat mental.

 

Tantangan kesehatan mental di Indonesia

Terkait perefelensi kesehatan mental, menurut riset kesehatan nasional Indonesia (Riskesdas) dikutip dari seributujuan.id, pada tahun 2013 terdapat sekitar 3,7% (atau 9  juta) orang menderita depresi, dari populasi 250 juta orang. Kemudian, sekitar 6% (14 juta) orang berusia 15 tahun ke atas menderita gangguan mood (suasana hati) seperti depresi dan kecemasan. Dan, sekitar 1,7 per 1000 orang menderita gangguan psikologis kronis, seperti skizofrenia.


Perawatan kesehatan mental di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Sebab, di Indonesia, hanya ada 600-800 psikiater. Angka ini berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia. Dengan begitu, menghasilkan rasio 0,01 psikiater per 100.000 orang.

 

Untuk meningkatkan kesehatan mental, perlu dilakukan kolaborasi antara berbagai sektor, karena kesehatan mental adalah hasil interaksi antara faktor psikologis, sosial dan biologis. Berikutnya, strategi yang menyertakan dorongan, pencegahan, penyembuhan dan rehabilitasi harus ditekankan. Selain itu, organisasi kesehatan mental, pemerintah dan masyarakat umum harus bekerja sama untuk menciptakan perubahan.


Perhatian NU
Untuk mendukung para penyandang disabilitas termasuk disabilitas mental, melalui Lembaga Bahtsul Masail, Nahdlatul Ulama (LBMNU) beberapa kali melakukan pembahasan. Pada Desember 2019, LBM secara fokus mendata dan mempelajari masalah yang muncul terkait disabilitas mental. Dari situ, LBM PBNU kemudian membuat rumusan-rumusan fiqhiyah atas problematika disabilitas mental. 


Sekretaris LBM PBNU H Sarmidi Husna menyampaikan bahwa forum itu diadakan antara lain untuk menindaklanjuti masukan pada peluncuran Buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas pada 29 November 2018 lalu di Jakarta untuk fokus membahas jenis disabilitas tertentu. 

 

"Kita membahas masalah-masalah yang ada dan merumuskan keputusan hukum fiqih penyandang disabilitas mental sebagai rujukan teologis pelaksanaan Islam inklusif," kata Sarmidi kala itu.


LBMNU mencoba membahas masalah keagamaan keseharian yang dihadapi oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau penyandang disabilitas yang terkait dengan persoalan aktivitas keagamaan Islam.

 

Menurut Sarmidi, disabilitas mental merupakan problem serius yang memerlukan penanganan khusus. Disabilitas mental selama ini belum mendapat banyak perhatian dari masyarakat termasuk kalangan agamawan. Oleh karena itu, LBM PBNU mencoba memberikan kontribusinya dengan menyentuh problem ini. 

 

Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Alhafiz Kurniawan