Nasional

Menyikapi Penghinaan Nabi Muhammad di Prancis Menurut Gus Yahya

Kam, 29 Oktober 2020 | 15:30 WIB

Menyikapi Penghinaan Nabi Muhammad di Prancis Menurut Gus Yahya

KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Tokoh diplomasi internasional, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan bahwa menanggapi penghinaan terhadap Nabi Muhammad dengan cara membunuh pelaku adalah tindakan biadab yang berpotensi memicu ketidakstabilan yang meluas. 


Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Selasa (27/10) menyerukan untuk tenang sambil mengkritik "sekularisme ekstrem" Prancis. Bahkan ketika Muslim di seluruh dunia bereaksi dengan marah terhadap pembelaan Presiden Prancis Emmanuel Macron atas kebebasan berbicara dan penggambaran Islam sebagai "agama dalam krisis".


"Menghina kehormatan Nabi Muhammad dianggap penghinaan terhadap Islam," kata Gus Yahya dikutip South China Morning Post, Rabu (28/10) yang diposting Sofian J. Anom di Facebooknya.

 

Baca juga: Penghinaan atas Nabi di Mata Warga Prancis


"Namun, menyikapi penghinaan terhadap Nabi dengan membunuh pelakunya merupakan tindakan biadab yang berpotensi memicu ketidakstabilan yang meluas tanpa kendali,” imbuh Katib Aam PBNU ini.


South China Morning Post menyebut, lebih dari 90 persen penduduk Indonesia (270 juta jiwa) adalah Muslim. Hal itu menjadikan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Sedangkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, persentase penduduk Muslim di Indonesia mencapai 87,2 persen atau 207,2 juta jiwa.


Gus Yahya bereaksi terhadap pernyataan Macron setelah pemenggalan kepala guru sekolah menengah Prancis Samuel Paty oleh seorang ekstremis Chechnya pada 16 Oktober 2020 setelah Paty menunjukkan kepada siswanya kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan pada 2015 oleh Charlie Hebdo, sebuah surat kabar satire Prancis.


Penerbitan kartun menyebabkan pembantaian 12 orang di Kantor Charlie Hebdo pada 2015 lalu.

 

Baca juga: Serang Islam, Dunia Islam Kecam Presiden Prancis


Di Suriah, orang-orang membakar gambar Macron sebagai reaksi atas komentarnya, sementara bendera tiga warna dibakar di ibu kota Libya, Tripoli, dan barang-barang Prancis telah ditarik dari rak supermarket di Qatar, Kuwait, dan negara-negara Teluk lainnya.


Macron awal bulan ini meluncurkan proposal untuk melawan ekstremisme dengan menekankan nilai-nilai sekuler Republik Prancis. Dia menggambarkan Islam sebagai agama "dalam krisis, termasuk di negara-negara di mana ia adalah agama mayoritas", sambil menekankan perlunya untuk tidak menstigmatisasi Muslim. 


Gus Yahya mendesak umat Islam, khususnya di Indonesia untuk mengatasi masalah ini dengan tenang "dan tidak menuruti emosi". Ia mengatakan apa yang sebenarnya dihadapi umat Islam bukan hanya mereka yang menghina Islam, tetapi kebutuhan seluruh umat manusia dari berbagai latar belakang dan keyakinan untuk menemukan landasan bagi integrasi global yang harmonis.

 

Baca juga: Macron dan Kontroversi Kartun Nabi Muhammad: Negara-negara Arab Boikot Produk Prancis


Gus Yahya yang merupakan pendukung terkemuka koeksistensi antaragama, mengatakan bahwa ini hanya dapat dicapai melalui "dialog yang tenang".


"Umat Islam seharusnya tidak mengikuti mereka yang menggunakan Islam dan masalah kartun Nabi sebagai senjata politik untuk mendapatkan keuntungan politik eksklusif dan sepihak atau dengan sengaja memicu konflik untuk menghancurkan lawan politik," kata Gus Yahya.


Menurutnya, Macron tidak sepenuhnya salah dalam menyatakan dunia Islam sedang dalam krisis, karena dalam pandangannya, krisisnya adalah bahwa dunia Islam belum sampai pada konstruksi religius dan sosial politik yang dibutuhkan untuk berintegrasi secara harmonis dengan dunia seluruhnya.


Persoalannya adalah, lanjut Gus Yahya, Macron menyikapi masalah yang terjadi saat ini dari perspektif "ideologi sekularisme ekstrem" Prancis yang cenderung memandang agama hanya sebagai sumber masalah dan tantangan ideologis yang harus dikalahkan.


"Pandangan sepihak ini disesalkan tidak hanya oleh kalangan Islam tetapi juga oleh kalangan Kristen dan Yahudi," kata Gus Yahya.

 

Baca juga: Grand Syekh Al-Azhar Angkat Bicara soal Pemenggalan Seorang Guru di Prancis


Ia menambahkan bahwa seluruh komunitas dunia dapat dipandang berada dalam krisis di tengah konflik ideologi dan pandangan dunia. "Dunia membutuhkan platform untuk dialog berdasarkan kejujuran untuk membangun konsensus pada nilai-nilai peradaban bersama," tandasnya.


Tragedi yang berawal dari peristiwa pemenggalan kepala Samuel Paty itu seakan terus berdampak buruk dan menelan korban jiwa. Dua Muslimah di Prancis mengalami luka-luka setelah ditikam ketika keduanya sedang berjalan-jalan di Taman Menara Eiffel, Paris. Kejadian itu dilaporkan terjadi pada Ahad (18/10) malam waktu setempat, atau dua hari setelah kasus menimpa Samuel Paty.


Belum juga luka tersebut reda, pada Kamis (29/10) Pemerintah Prancis melaporkan terjadi penusukan di Gereja Notre-Dam yang menewaskan tiga orang. Pelaku penyerangan di gereja Notre-Dame telah ditangkap. Belum disebutkan identitas pelaku. Belum juga diketahui apa motif serangan di Nice atau apakah ada kaitannya dengan kartun Nabi Muhammad.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon