Nasional

Moderasi Beragama: Solusi Dua Kutub Ekstrem Hubungan Agama dan Negara

Rab, 1 Juni 2022 | 15:00 WIB

Moderasi Beragama: Solusi Dua Kutub Ekstrem Hubungan Agama dan Negara

Ilustrasi kemajemukan Indonesia. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Ada dua kutub ekstrem yang perlu diwaspadai dalam kaitannya dengan hubungan agama dan negara. Hal ini mengingat adanya tarikan dari dua sisi itu.


"Dua kutub ekstrem dalam relasi agama dengan negara terkait dengan paham dan praktik keagamaan ini yang perlu kita waspadai adalah dua tarikan yang selalu muncul di tengah-tengah kita," ujar Lukman Hakim Saifuddin saat menyampaikan pidato ilmiah pada penganugerahan gelar doktor kehormatan bidang pengkajian Islam peminatan Moderasi Beragama dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (31/5/2022).


Meskipun ini masih dalam skala yang tidak masif dan tidak besar, lanjutnya, tapi tentu tetap harus diwaspadai.


Kutub pertama adalah tarikan untuk terjadinya semacam formalisasi Islam. Menurutnya, ini aspirasi yang terus ada. Formalisasi ini diupayakan untuk diterapkan pada seluruh kehidupan bangsa Indonesia yang hakikatnya majemuk, termasuk dalam hal keagamaan.


Tarikan ekstrem lain, menurutnya, adalah sekularisasi, yaitu paya untuk memisahkan agama dari kehidupan kenegaraan dan dari kehidupan kemasyarakatan bangsa Indonesia.


Oleh karena itu, sebagai upaya menjaga dari agar tidak tertarik dua kutub itu, menurutnya, perlu kesadaran untuk memiliki pemahaman dan pengamalan keagamaan yang tidak ekstrem.


"Maka, terhadap tantangan tersebut beberapa solusi yang ditawarkan adalah bagaimana kita bisa membangun bersama kesadaran, di mana kesadaran itu adalah kesadaran yang memiliki paham dan amalan keagamaan yang tidak berlebih-lebihan, yang tidak melampaui batas, yang tidak ekstrem dalam kehidupan kita bersama di tengah-tengah bangsa Indonesia ini," ujarnya.


Ia mengungkapkan bahwa membangun kesadaran tersebut haruslah terencana dengan baik, terpola, sistematis, dan masif. Hal ini perlu didukung oleh seluruh elemen bangsa.


"Itu harus melibatkan seluruh institusi dan instansi pemerintahan, seluruh kementerian dan lembaga, juga seluruh organisasi keagamaan kita dan tentu semua kita warga bangsa," katanya.


Lukman menamai gerakan pembangunan kesadaran akan pemahaman dan pengamalan keagamaan dengan tidak ekstrem itu sebagai penguatan moderasi beragama.


"Gerakan bersama itu lalu kemudian saya namakan sebagai Penguatan Moderasi Beragama," ujar pria kelahiran Jakarta, 25 November 1962 itu.


Penguatan Moderasi Beragama adalah sebuah upaya agar cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama itu mengedepankan perlindungan kemanusiaan dan mewujudkan kemaslahatan bersama.

 

Hal itu juga dilakukan dengan menerapkan prinsip keadilan, keberimbangan, dan menaati konstitusi sebagai sebuah kesepakatan berbangsa. Baginya, hal tersebut merupakan sebuah ejawantah, wujud, dan manifestasi esensi atau inti pokok ajaran agama.


"Jadi inilah yang dimaksudkan dengan moderasi beragama," ujar putra bungsu KH Saifuddin Zuhri itu.


Lukman menegaskan bahwa konsep yang diajukannya adalah moderasi beragama, bukan moderasi agama. Sebab, jelasnya, seringkali masih saja ada yang memiliki kesalahpahaman seakan-akan yang dimoderasi itu agama-agama. Menurutnya, agama tidak perlu dimoderasi mengingat hal itu sudah merupakan hal yang pasti.


"Tentu sesuatu yang yang tidak perlu kita ragukan lagi karena dia (agama) datang dari Tuhan Yang maha kuasa. Sudah dengan sendirinya agama itu moderat dalam artian tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas, tidak ekstrem," ujarnya.


Namun, cara dalam memahami dan mengamalkan agama ini yang perlu dimoderasi sehingga tidak berlebih-lebihan atau ekstrem. "Jadi cara kita beragama itulah yang perlu diupayakan untuk senantiasa berada pada posisinya yang moderat yang tidak berlebih-lebihan dan tidak melampaui batas," ujarnya.


Oleh karena itu, Lukman menyampaikan bahwa moderasi beragama bukan memosisikan diri di antara hak dan bathil atau baik dan buruk. Hal ini, menurutnya, adalah bentuk kesalahpahaman akan konsepsi moderasi beragama.

 

Apalagi anggapan bahwa moderasi beragama merupakan upaya agar tidak perlu terlalu serius dalam beragama hingga disebut sebagai proses pendangkalan keimanan. "Tentu ini pandangan pemahaman yang tidak benar sama sekali," ujarnya.


Wasathiyah atau moderat itu adalah selain memiliki makna kesedangan, tidak berlebihan tapi juga tidak kekurangan, dia juga mengandung pengertian di tengah wasath dari dua kutubnya yang ekstrem.


Hal ini berarti moderat itu bukan posisi di antara hak dan batil, bukan di antara baik dan buruk, atau benar dan salah, tapi di antara dua kutub ekstrem yang boleh jadi umat beragama terjerembab terperosok terjerumus pada pemahaman-pemahaman seperti itu ketika menyikapi teks-teks keagamaan sebagai sumber utama dalam memahami agama.


"Karena kita tahu, rujukan agama itu adalah kitab suci. Dan semua kitab suci agama berbentuk teks. Maka ketika kita menyikapi teks ada sebagian di antara kita yang karena satu dan lain hal terlalu berada pada posisinya di pinggir sehingga mudah tergelincir. Yang ini lalu kemudian berlebih-lebihan, yang ini kemudian terlalu melampaui batas," jelasnya.


"Maka keekstriman seperti inilah yang dimoderasi," tegas pria yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Darul Rahman Jakarta itu.


Dalam pidatonya, ia kembali menegaskan bahwa moderasi beragama bukan memposisikan diri di tengah di antara yang haq dan bathil. Kalau itu semua kita tentu sudah dengan sendirinya akal sehat dan nurani kita sudah dengan sendirinya mengajak kita memilih yang bila diperhadapkan dengan yang batil, memilih yang benar bila diperhadapkan juga dengan yang salah, atau yang baik bila ada yang buruk," pungkasnya.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad