Jakarta, NU OnlineÂ
Siang itu selepas Shalat Dzuhur berjamaah, telpon genggam Cornelius Ariyanto berdering. Ketika diangkat, seorang kolega yang ia kenal di dunia perburuhan menelpon. Ia terkejut tak kepalang ketika karena koleganya itu meminta untuk membantu Liga Santri. Ia lebih terkejut lagi ketika si kolega menyebut operator liga menaungi 23.000 lebih pesantren.
"Yes, this is it!" teriak Ary saat itu, beberapa bulan lalu.Â
Bagi dia, permintaan koleganya itu seperti sebuah karunia. Karena, di tahun awalnya masuk Islam, dia sudah akan bersinggungan dengan masyarakat pesantren. Ary pun sudah tidak sabar untuk melihat dan berinteraksi dengan pesantren yang sudah menjadi subkultur tersendiri di masyarakat Indonesia.
Ada kesan yang sangat membekas ketika Ary mulai berinteraksi dengan lingkungan pesantren melalui Rabtihah Ma'ahid Islamiyah (RMI) yang menjadi operator Liga Santri itu.Â
"Semuanya menerima saya dengan tulus. Pesantren itu ternyata sangat plural, bahkan tidak pernah monolitik. Tetapi hebatnya kalau sudah berbicara NU atau dunia santri, keragaman itu tiba-tiba langsung menyatu dalam sebuah kebersamaan yang besar. Ini sumber kekuatan yang tiada duanya di dunia," terang sosok yang suka dibecandain sahabat-sahabatnya dengan sebutan Ustadz Cornel ini.
Ary merasa sangat beruntung dengan berislam dan langsung berjumpa dengan NU.Â
"Kesan Islam sebagai agama yang eksklusif, tidak toleran, tertutup dan kurang bisa respect terhadap yang lain seperti yang sama pahami sebelum memeluk Islam langsung patah tak berbekas. Melalui NU, saya benar-benar mendapati Islam yang merangkul, Islam yang mengayomi semua. Rahmat bagi seru semua alam, bukan saja bagi manusia, apalagi hanya untuk sesama muslim saja."
Menutup percakapan, Ary mengungkapkan kesan dan respect-nya pada Ketua RMI, KH Abdul Gofarrozin.Â
"Gus Rozin adalah salah satu daya pikat bagi keislaman saya. Beliau demikian humble, andap asor, bersahabat, suportif dan mau mendelegasikan otoritasnya kepada tim. Beliau adalah sosok pemimpin muda yang ideal. Saya amazed diberi kepercayaan yang sangat besar ini," ungkap Cornelius.
"Dengan amanat yang sebesar ini di tahun kedua keislaman saya, saya kemudian menjadi paham ketika menghadap ke Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat, Ajengan Nuh Addawami. Beliau menyebut saya bukan lagi seorang mualaf, melainkan saya sudah mukalaf. Orang yang sudah memiliki kewajiban sebagaimana kebanyakan Muslim lainnya," tutup Ary dengan tersenyum simpul penuh keyakinan. (Ali/Abdullah Alawi)