Nasional MUKTAMAR KE-34 NU

Muktamar NU Tetapkan Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum

Jum, 24 Desember 2021 | 14:00 WIB

Muktamar NU Tetapkan Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum

Badan hukum memiliki persamaan dan perbedaan dengan asy-syakhshiyah ath-thabi’iyah (manusia alamiah). Perbedaannya badan hukum tidak wajib berpuasa Ramadhan, shalat, dan haji.

Bandar Lampung, NU Online 

Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan bahwa badan hukum termasuk subjek hukum pada Kamis (23/12/2021). Dengan begitu, badan hukum memiliki tanggungan hukum (dzimmah) sebagaimana manusia selaku individu (person). Hanya, kewajiban yang dimiliki oleh badan hukum tidak sama dengan manusia sebagai individu. 


Tema bahtusl masail ini diangkat untuk menetapkan badan hukum profit seperti perusahaan, koperasi, PT, dan sebagainya sebagai subjek hukum. Dengan ditetapkannya sebagai subjek hukum, maka badan hukum wajib mengeluarkan zakat dan berbagai kewajiban lainnya menurut diskursus fiqih. 


Dalam bahasa Arab, badan hukum yang disebut asy-syakhshiyah al-i’tibariyah memiliki persamaan dan perbedaan dengan asy-syakhshiyah ath-thabi’iyah (manusia alamiah). Perbedaannya tentu saja badan hukum tidak wajib berpuasa Ramadhan, shalat, dan haji. Sebab hal itu merupakan kewajiban yang bersifat individual. Persamaannya, keduanya sama-sama wajib mengeluarkan zakat. 


“Karena barometer taklif adalah akal, maka badan hukum disebut sebagai asy-syakhshiyah al-i’tibariyah. Mengapa, karena dia bukan individu (syakhsy), tetapi diidentikan dengan individu,” jelas Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah Muktamar ke-34 NU KH Abdul Moqsith Ghazali dalam Sidang Pleno III di Universitas Lampung (Unila), Kamis (23/12/2021). 


Lebih rinci, berikut adalah perbedaan mendasar antara al-syakhash al-thabi’i (manusia) dan al-syakhsh al-i’tibari (badan hukum) sebagai berikut. Dengan begitu, bisa diketahui ruang subjek hukum masing-masing. 


1. Al-syakhsh al-i’tibari hanya memiliki wujud secara undang-undang sedangkan al-syakhash al-thabi’i memiliki wujud fisik. 


2. Al-syakhsh al-i’tibari bersifat dependen (wujud taba’i), artinya keberadaanya diakui sebagai konsekuensi dari adanya perhimpunan manusia ataupun harta. Sedangkan keberadaan al-syakhash al-thabi’i bersifat independen (wujud mustaqil). 


3. Al-syaksh al-i’tibari tidak berhubungan dengan hak-hak perdata yang menyangkut masalah keluarga (al-ahwal al-syakhshiyyah), seperti perkawinan, perceraian, warisan dan lain-lain, karena hal itu menjadi keistimewaan manusia sebagai al-syakhash al-thabi’i. 


4. Ekistensi al-syaksh al-i’tibari tidak serta-merta lenyap bersamaan dengan hilang atau meninggalnya pihak pengelola. 


5. Wewenang al-syakhsh al-i’tibari tidak bisa berakhir dengan kematian, melainkan dengan pembubaran atau penutupan, berbeda halnya dengan al-syakhsh al-thabi’i. 


6. Keberadaan al-syakhsh al-i’tibari harus menunggu legalitas dan pengakuan dari undang-undang, berbeda halnya dengan al-syakhsh al-thabi’i yang muncul dengan sendirinya seiring keberadan fisik manusia sejak di dalam kandungan. 


7. Wewenang al-syakhsh al-i’tibari terbatas pada undang-undang yang membatasinya Sementara wewenang al-syakhsh al-thabi’i dalam mengelola harta, memperoleh hak-hak dan memikul kewajiaban, sewaktu-waktu bisa dibatasi oleh al-‘awaridh al-ahliyyah (penghalang kecakapan). 


8. Wewenang al-syakhsh al-‘itibari tidak mengalami proses perkembangan, melainkan langsung berada pada fase akhir. Berbeda dengan al-syakhsh al-thabi’i yang bermula dari ahliyyah al-wujub al-naqishah (kecakapan untuk memperoleh hak dan kewajiban secara terbatas), yaitu ketika berada dalam kandungan hingga sampai pada fase ahliyyah al-wujub al-kamilah dan ahliyyah al-ada’ al-kamilah (kecakapan untuk memperoleh hak dan kewajiban sekaligus melakukan tindakan hukum secara sempurna), yaitu setelah akil-balig. 


9. Tidak seperti al-syakhsh al-thabi’i yang bisa dikenai sangsi fisik, al-syakhsh al-i’tibari hanya bisa dikenai sanksi administratif.


Kontributor: Muhamad Abror

Editor: Alhafiz Kurniawan