Nasional

Musik Menjadi Media Transformasi Jiwa

Ahad, 12 April 2020 | 02:45 WIB

Musik Menjadi Media Transformasi Jiwa

Dalam sufisme seperti ada dentuman di jantung kita. Dzikir Laa ilaaha illallah sangat musikal dan itu sangat cocok dengan jantung kita. (Ilustrasi)

Jakarta, NU Online
Islam memandang musik bukan dari satu aspek, yaitu hukum fiqih saja. Musik dalam Islam juga ditempatkan sebagai media transformasi jiwa. Dalam tradisi sufisme, musik justru menjadi media yang sangat efektif untuk membangun kesadaran spiritual hingga menemukan unveil (ketersingkapan) dan kecintaan kepada Tuhan.
 
"Demikian juga dalam tradisi agama-agama lain menjadikan musik sebagai instrumen penting dalam membangun transendensi diri," kata Thobib Al-Asyhar pada diskusi Musik sebagai Penakluk Jiwa, Sabtu (11/4).
 
Pada diskusi yang dilakukan secara daring, Dosen Psikologi Islam pada Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia Salemba itu menyebut musik karya al-Farabi dapat membentuk jiwa positif.
 
Menjawab pertanyaan seorang peserta diskusi, menurut Thobib, al-Farabi adalah seorang tokoh pemikir Islam terkemuka, juga sebagai bapak musik dunia yang menciptakan musik sangat indah.
 
"Melalui karya musiknya, al-Farabi dapat menjinakkan binatang buas. Bahkan, dalam praktiknya, musik karyanya dapat menyembuhkan penyakit psikologis (terapi) yang diderita seseorang. Pendekatan ini digunakan juga oleh psikolog modern," ungkapnya.
 
Menurut dia, musik memiliki dua efek langsung, yaitu kebahagiaan jasmani (fisik) dan kebahagiaan rohani (spiritual). Semua jenis musik dapat menimbulkan dua efek tersebut.
 
"Namun, jenis musik spirituallah yang paling efektif untuk membangun kesadaran ketuhanan. Rumi adalah tokoh Tarekat Maulawiyah yang menjadikan musik dengan alat ney dan rebana utk membangun jiwa salik menuju puncak spiritual tertinggi," tandasnya.
 
Dalam tradisi sufi, sambungnya, musik tidak selalu berkonotasi formal dengan segala jenis alat-alatnya. Namun, semua suara yang dapat menenangkan jiwa untuk menemukan jalan spiritual.
 
Oleh karena itu, Islam sangat menerima kehadiran musik untuk mengantarkan pada alam ruhani menuju transendensi diri. "Imam al-Ghazali berkata, seseorang yang tidak menyukai musik termasuk orang yang memiliki penyakit jiwa yang sulit diobati," kata Thobib.
 
Menurut Thobib, alunan jantung manusia itu sangat musikal, sehingga cocok sekali dengan musik yang lembut. Sebaliknya, jelas tida cocok dengan musik yang bergenre keras.
 
Jika direnungkan, lanjut dia, dalam sufisme sepertinya ada dentuman di jantung kita. "Jadi, dzikir Laa ilaaha illallah itu musikal sekali. Dan, itu sangat cocok dengan jantung kita. Hati-hati, orang yang punya sakit jantung harap menghindari musik beraliran keras," sambungnya.
 
Lagu-lagu atau syair religi, juga sangat mempengaruhi jiwa. Ia mengaku di kala remaja sangat menikmati sebuah lagu yang sangat dahsyat. "Kita ingat waktu zaman masih muda, lagunya Nike Ardilla berjudul Mama Aku Ingin Pulang. Ternyata benar, tak lama ia berpulang," kenangnya.
 
Ia menambahkan, ada juga lagunya Mbah Surip yang berjudul Tak Gendong ke Mana-mana. "Itu kan di akhir ada kata-kata 'Capek deh'. Akhirnya Mbah Surip meninggal karena kecapekan," ungkap Thobib.
 
Saat ditanya soal pro-kontra lirik lagu Aisyah Istri Rasulullah, ia berpendapat selama liriknya bagus dan tidak melanggar norma, tidak masalah.
 
"Saya kira bagus-bagus saja. Lagu ini kan sebenarnya ingin mengajarkan kepada publik bahwa istri Rasulullah itu ada yang bernama Aisyah. Ini sekaligus sebagai media dakwah juga bagi keluarga bahwa Rasulullah itu romantis seperti mencubit hidung Aisyah saat sedang marah," paparnya.
 
 
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan