Nasional

Muslim Minoritas di Luar Negeri Perlu Buku Saku Pedoman Ibadah

Jum, 18 Juni 2021 | 07:00 WIB

Muslim Minoritas di Luar Negeri Perlu Buku Saku Pedoman Ibadah

Ilustrasi (oneclass.com)

Jakarta, NU Online


Umat Islam minoritas di beberapa negara, dalam menjalankan ibadah berbeda dengan umat Islam pada umumnya. Hal ini disebabkan banyak hal, mulai dari terbatasnya waktu shalat, hingga fasilitas ibadah yang kurang memadai.


Alumni Flinders University Adelaide-Australia Sabilil Muttaqin menyampaikan bahwa ulasan-ulasan hukum terhadap fenomena Muslim minoritas di luar negeri penting untuk disatukan dalam buku saku.


“Kalau bisa, ada buku saku pedoman beribadah bagi umat Islam minoritas di luar negeri,” katanya dalam Diskusi Buku Argumentasi Fiqih Minoritas Muslim yang diselenggarakan oleh World Moslem Studies Center (Womester) Depok berkerja sama dengan Fakultas Syariah UIN KH Achmad Siddiq Jember, secara daring, Kamis siang (17/6).


Sementara itu, Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand Yusdi Maksum mengungkapkan, umat Islam di Australia menjalankan ibadahnya dengan sangat terbatas mengingat ketidaktersediaan mushala di beberapa tempat.


“Kami umat Islam di Australia seringkali menjamak shalat dhuhur dan ashar, hal ini dikarenakan waktunya yang berdekatan, ditambah lagi tidak tersedianya mushala di tempat kami,” jelas Yusdi.


Yusdi menambahkan, fenomena lain yang terjadi di ‘Negeri Kangguru’ adalah larangan kumandang adzan melalui pengeras suara. Larangan tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, melainkan umat beragama lainnya. “Prinsip masyarakat Australia yaitu kepentingan yang berkaitan dengan ibadah adalah hal yang bersifat privat,” tambah Yusdi.


Fenomena yang sama juga diungkapkan oleh Dawam Multazamy Rohmatullah, mahasiswa Utrecht University. Ia menyebutkan di antara fenomena minoritas muslim yang terjadi di Negeri Kincir Angin adalah larangan penyembelihan hewan kurban secara personal.


“Dalam menyembelih hewan kurban, umat Muslim di sini dilarang untuk menyembelih sendiri. Jadi, ya harus diserahkan ke pemerintah. Kalau tidak mau, bisa dipidana,” kata Dawam.


Pengurus PCINU Belanda itu juga menyampaikan bahwa Muslim di sana menjalankan shalat Jumat secara bergantian. “Kami di sini harus menyewa tempat untuk dijadikan masjid, kemudian juga shalat Jumat yang harus bergantian atau dua gelombang telah biasa kami lakukan,” tambahnya.


Dalam kasus lain, Mahasiswi National Chiayi University Taiwan Nur Izzatul Maulidah mengatakan bahwa muslimah di Taiwan tetap percaya diri untuk selalu memakai jilbab, meski hidup sebagai kaum minoritas.


“Kami di sini, termasuk di kampus, tetap percaya diri dengan tampil memakai jilbab. Di sisi lain, khususnya di kampus kami, telah disediakan fasilitas ibadah untuk shalat,” tutur perempuan asal Kabupaten Jember itu.


Sementara itu, Guru Besar Fakultas Syariah UIN KH Ahmad Shiddiq Jember KH M Noor Harisudin menjelaskan, umat Islam yang menjadi kaum minoritas di beberapa negara tentu membutuhkan perhatian khusus. Dalam hal menjalankan hukum Islam, mereka perlu pedoman agar tidak berbenturan dengan kenyataan hidup.


“Para pelajar, pekerja, duta besar yang berasal dari umat Muslim Indonesia, juga dituntut untuk menjalankan ibadahnya secara penuh meski di luar negeri sekalipun,” kata penulis buku Argumentasi Fiqih Minoritas Muslim tersebut.


Kontributor : M. Irwan Zamroni Ali
Editor: Syakir NF