Nasional

Negara Harus Lakukan Asesmen ASN terkait Pemaknaan Ideologi Pancasila

Rab, 24 Mei 2017 | 14:14 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad mengatakan negara seharusnya melakukan asesmen bagi seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) terkait pemaknaan Ideologi Pancasila. Pasalnya, selama ini hanya kalangan awam yang disurvei pemahamannya terhadap Pancasila sebagai ideologi negara.

“Ada nggak survei yang terkait khusus untuk aparatus negara. Lembaga negara semacam PPIM UIN punya nggak survei tentang itu,” ujar Rumadi saat berbicara sebagai narasumber bersama Direktur PPIM UIN Ciputat Dr Jamhari Ma’ruf pada bedah buku Revolusi Pancasila karya Yudi Latif Jakarta, Senin (22/5).

Dalam kegiatan bedah buku yang diinisiasi Puslitbang Penda Balitbang Diklat Kemenag di Hotel A-One tersebut, Rumadi melempar pertanyaan kepada pembedah kedua, Jamhari Ma’ruf, lantaran pernah menerima informasi bahwa salah seorang pegawai Kementerian Keuangan diduga pro Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Bagi saya, pro HTI itu bukan Pancasila. Kalau dia pro negara khilafah berarti bukan Pancasila. Info ini jelas mengejutkan. Ada aparatus negara yang punya ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara. Dugaan saya, ini semakin meluas ke mana-mana,” tegasnya.

Tak hanya di Kemenkeu, lanjutnya, tapi juga telah masuk ke TNI dan Polri. Bahkan dikabarkan ada jenderal purnawirawan yang sepertinya sudah mulai ‘masuk angin’ soal ideologi seperti ini. “Termasuk Kemenag. Maka, menurut saya Kemenag perlu melakukan asesmen terhadap aparatusnya,” tekan Rumadi.

Dosen STAINU Jakarta ini menambahkan, jika dia warga negara biasa, bukan penyelenggara negara mungkin kita masih bisa agar longgar. “Tetapi kalau ideologi ini sudah merasuk ke dalam unsur negara yang mengelola birokrasi, maka jangan sampai dibiarkan,” tegasnya. 

Menurut pria kelahiran Jepara ini, Pancasila lahir dari kompromi politik. Bahkan, negara ini juga lahir dari kompromi politik. “Kalau tidak ada kompromi politik mungkin nggak ada Indonesia. Jadi, negara dan ideologi negara lahir dari kompromi,” tandas Rumadi.

Kompromi politik, bagi dia, memiliki kekurangan sekaligus kelebihan. Pada satu sisi terlihat baik, namun juga lembek. Perdebatan apapun dalam politik, ujung-ujungnya akan kompromi. Misalnya, saat pembahasan UU APBN. Ketika pemerintah mengasumsikan nilai tukar rupiah sebesar 15 ribu per dolar, sementara DPR mengasumsikannya 12 ribu, pasti akan disepakati ketemu di tengah.

“Jadi, seluruh bangunan kenegeraan ini semuanya lahir dari kompromi. Baiknya melahirkan kesepakatan bersama. Tapi sisi negatifnya adalah menjadikan identitas negara ini cair. Jadi jika ada yang meledek Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler ya salah satunya karena adanya kompromi ini,” kata Rumadi.

Terhadap buku tersebut, Rumadi mengaku tertarik atas sub judul ‘musuh revolusi’. “Saya senang dengan istilah ini. Saya juga jadi penasaran siapa sebenarnya musuh Kang Yudi. Di sini, disebutkan unsur-unsur anti dan kontra revolusi Pancasila, lalu kekuatan kapitalisme hitam menjadi salah satu musuhnya,” ulasnya. 

Selain Yudi Latif selaku penulis buku, hadir dalam acara yang dibuka resmi oleh Kepala Balitbang Diklat Kemenag Abdurrahman Mas’ud ini, Kepala Puslitbang Penda Amsal Bakhtiar, Kepala Pusdiklat Teknis Mahsusi, para pejabat Eselon III di lingkungan Balitbang Diklat, serta para Kepala Balai Litbang Agama (BLA) dan Kepala Balai Diklat Keagamaan (BDK) seluruh Indonesia. (Musthofa Asrori/Mukafi Niam)