Nasional

Ngaji Ihya Ulumuddin, Cara Terbaik Proses Deradikalisasi

Kam, 7 Februari 2019 | 23:00 WIB

Ngaji Ihya Ulumuddin, Cara Terbaik Proses Deradikalisasi

Ngaji Ihya Ulumuddin, Kamis (7/2)

Jakarta, NU Online
Ulil Abshar Abdalla dalam pengajian rutin Ngaji Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa mempelajari (mengkaji) kitab karya teolog Muslim terkemuka Abu Hamid Muhammad al-Ghazali adalah cara paling baik untuk proses deradikalisasi.

"Ihya mengajari kita agar tidak gembelengan. Karena standarnya tinggi. Tapi jangan jadi kecil hati. Jadikan semacam pelecut. Ihya cara paling baik untuk deradikalisasi. Tentu radikal di sini dalam arti negatif. Karena ada radikal yang positif," jelas Ulil, di Masjid Annahdlah Gedung PBNU Jakarta Pusat, Kamis (7/4) malam.  

Menurut Ulil, kitab karangan Imam Ghazali tersebut menunjukan standar yang tinggi mengenai akhlak, kebaikan atau cara menjadi Muslim yang baik, bahwa kebaikan itu ada standarnya.

"Ngaji Ihya itu untuk ukuran-ukuran kita ini susah untuk mempraktikkannya, tapi setidaknya kita tahu. Minimal kita mendekati. Minimal kita ngerti ada standar yang tinggi soal kebaikan," ujar menantu Gus Mus ini.

Lebih baik jadi orang awam yang sadar, lanjut Ulil, daripada jadi orang awam yang tidak sadar. Orang awam yang tidak sadar seperti melakukan satu hal baik seolah sudah melakukan banyak atau seluruh kebaikan.

Ulil juga mengungkapkan, saat ini kitab Ihya Ulumuddin sangat dibutuhkan, terlebih dalam suasana politik yang membikin masyarakat awam terombang-ambing pikirannya.

"Di pesantren dulu, ‘angker’ sekali kitab (Ihya Ulumuddin) ini. Tapi sebetulnya praktis. Kita butuh kitab ini sekarang. Agar intuisi kita dilatih terus. Agar tidak kesulitan menilai kondisi," ungkapnya.

Intuisi, rasa adalah teori akhlak Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin. "Akhlak, rasa dalam Ihya agar kita bisa turn-in terus, agar gelombangnya cocok dengan Gusti Allah," kata Ulil.

Kitab Ihya, kata Ulil, meski sudah ribuan tahun tetap relevan untuk dibaca dan dikaji. Karena, yang dibahas di dalamnya adalah jiwa manusia; kalbu, akhlak, rasa. 

"Karena Ihya itu soal jiwa manusia. Bagian dalam kita nggak berubah banyak. Dari dulu jiwa manusia sama; tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Temanya sama; percintaan, perdamaian, lagu-lagu yang sama. Cuma dunia di luar manusia yang banyak berubah; ada revolusi industri, revolusi digital, revolusi sibernetik. Makanya jangan terkecoh dengan revolusi di luar jiwa manusia," jelasnya. (Wahyu Noerhadi/Kendi Setiawan)