Nasional

Nilai Pancasila dalam Sejarah Islam Indonesia

Kam, 25 Mei 2023 | 14:45 WIB

Nilai Pancasila dalam Sejarah Islam Indonesia

Ilustrasi: Ideologi Pancasila tidak bertentangan dengan nilai agama Islam, tetapi Pancasila justru diciptakan dari saripati agama Islam. (Foto: dok NU Online)

Jakarta, NU Online
Sejak kehadiran Islam pada abad ke-7 atau 8 di Indonesia, nilai dan pengamalan Pancasila tampaknya sudah terpatri di dalam kehidupan masyarakat. Para ulama dan tokoh masyarakat yang hidup pada masa itu, dinilai mampu meramu ideologi Pancasila dan Islam secara tepat, sehingga berpengaruh terhadap kerukunan dan kebersamaan masyarakat. Hal ini tentunya menjadi langkah yang strategis untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. 

 

Mayoritas ulama Nusantara menyatakan bahwa ideologi Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Sebaliknya, ideologi Pancasila justru diciptakan dari saripati agama Islam. Demikian pula bahwa Pancasila merupakan kesepakatan bersama atau dalam Al-Qur'an disebut sebagai kalimatun sawa yang menjadi ideologi pemersatu banyak suku, agama, ras dan golongan. Statemen ini diajarkan oleh para ulama kepada para santrinya sejak jaman dahulu hingga saat ini. 

 

Sejarawan sekaligus Filolog Islam Nusantara, Ahmad Ginanjar Sya'ban mengatakan, terdapat banyak bukti sejarah yang menunjukkan kegigihan para ulama yang alim dalam ilmu agama Islam, yang menyatakan bahwa mencintai tanah air tak berbeda dengan mencintai agama. Ginanjar menilai ajaran itulah yang terus dipegang hingga saat ini sehingga umat Islam di Indonesia selalu mempertahankan ideologi Pancasila. 

 

Hal ini, kata Ginanjar, dapat dilihat dari jejak atau manuskrip sejarah Islam yang membahas kecintaan pada negara dan agama, yang ditulis oleh guru para ulama Indonesia, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan pada akhir abad ke-19. 


Menurut Ginanjar, dari manuskrip yang ditemukan menunjukan bahwa jauh sebelum semua orang membahas hal tersebut, Syaikhona Kholil Bangkalan telah menulis hubbul auton minal iman atau mencintai tanah air sebagian dari iman.

 

"Bukti lainnya bahwa pada tahun 1916, atau dua belas tahun sebelum Sumpah Pemuda didengungkan 1928, KH Abdul Wahab Chasbullah dan beberapa ulama tradisionalis lainnya di Surabaya mendirikan sebuah perkumpulan organisasi bernama Syubbanul Wathon atau pemuda tanah air. Dalam pendirian organisasi tersebut Kiai Wahab telah mendengungkan cinta tanah air melalui mars organisasi," kata Filolog yang juga dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) ini, seperti dikutip NU Online dari tayangan video BPIP, Kamis (25/5/2023). 


Bukti lain yang juga memperkuat jejak Pancasila dalam sejarah Islam Indonesia yaitu manuskrip tahun 1970-an dalam bentuk kitab berbahasa Sunda-pegon yang diterbitkan di Purwakarta berjudul Nadhom Pancasila. Dalam nadhom tersebut diterangkan bahwa Pancasila adalah falsafah dan dasar negara yang sudah selaras dengan Al-Qur'an dan hadits Rasulullah saw.


Kemudian, lanjut Ginanjar, puncak perjuangan ulama dalam mempertahankan ideologi Pancasila terjadi pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo tahun 1983. Pada acara Munas tersebut para ulama bersepakat untuk menerima ideologi Pancasila sebagai asas tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

 

"Munas ini juga menentukan bahwa posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa tidak bertentangan dengan agama Islam. Dalam salah satu butir yang dihasilkan, disebut bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya," tuturnya. 

 

Sementara menurut ulama kharismatik asal Pandeglang Banten, KH Abuya Muhtadi bin KH Abuya Dimyati, Pancasila merupakan wasiat para orang tua terdahulu atau para pendiri bangsa agar diamalkan. Sehingga bangsa Indonesia hidup rukun, damai dan sejahtera. Karena itu harus dijaga dan diimplementasikan.


"Pancasila itu wasiat orang tua kita. Harus dijaga dan diamalkan," kata Abuya Muhtadi. 

 

Selanjutnya, keluarbiasaan Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa yang disebut Abuya Muhtadi sebagai wasiat, turut menjadi perhatian negara-negara Timur Tengah yang merasa kesulitan menyatukan bangsanya. Sebagai contoh pada tahun 1955, pidato Presiden Soekarno tentang Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab untuk disebarkan pengaruhnya kepada masyarakat di Timur Tengah. 

 

Kemudian, pada koran Al-Ahram, koran terbesar di Mesir, pada 22 september 2015 menerbitkan artikel berjudul نحو بانتشاسيال مصرية  atau Menuju Pancasila Mesir ditulis oleh Dr Muhammad Fayiz Farhat.

 

Farhat menyebut, salah satu pilar penopang utama keutuhan Indonesia hingga saat ini, sebagai negara-bangsa yang multiidentitas adalah berkat adanya Pancasila sebagai ideologi yang diterapkan, dihayati, diajarkan dan diamalkan.

 

Menurut dia, negara-negara Arab dewasa ini, khususnya Mesir, di tengah gelombang krisis disintegrasi bangsa, sangat memerlukan untuk 'mem-fotocopy' keberhasilan ideologi Pancasila di Indonesia. 


Dari pernyataan Ahmad Ginanjar dan Abuya Muhtadi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan jejak-jejak yang telah disebutkan para alim ulama menerima Pancasila dan menganggap keberadaannya begitu penting sebagai ideologi bangsa.

 

Selain itu, rekam jejak sejarah panjang ini menunjukkan betapa para alim ulama Indonesia menjadi bagian penting dari lahirnya persatuan Indonesia dan bertahannya ideologi bangsa bernama Pancasila. 


Oleh karena itu, jika melihat profil para alim ulama yang mempertahankan kecintaan pada bangsa dan Pancasila berdasarkan ajaran agama, bangsa Indonesia patut bersyukur bahwa hingga saat ini kita yang memiliki latar belakang budaya, agama, bahasa dan suku yang berbeda masih bersatu dan hidup berdampingan sebagai sebuah bangsa yang damai di bawah ideologi pemersatu: Pancasila.


Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Kendi Setiawan