Nasional

Nilai UN Reduksi Pendidikan, Pakar: Siswa Hanya Kembangkan Aspek Kognitif

Jum, 13 Desember 2019 | 11:00 WIB

Nilai UN Reduksi Pendidikan, Pakar: Siswa Hanya Kembangkan Aspek Kognitif

Ilustrasi Ujian Nasional (UN).

Jakarta, NU Online
Penghapusan Ujian Nasional (UN) yang direncanakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menuai polemik pro dan kontra. Beberapa tokoh menyatakan ketidaksepakatannya dengan kebijakan tersebut karena khawatir akan menurunkan semangat belajar siswa.

Pakar pendidikan Muhammad Zuhdi memandang lain. Menurutnya, realitas yang muncul dalam praktik penyelenggaraan UN tidak sederhana sehingga justru hal tersebut mereduksi pendidikan itu sendiri. 

“Pendidikan direduksi menjadi sekolah, sekolah direduksi menjadi UN,” katanya kepada NU Online pada Jumat (13/12).

Zuhdi melihat bahwa UN merupakan sebuah salah satu ukuran keberhasilan pendidikan bagi sekolah dan otoritas pendidikan. Hal itu membuat tenaga sivitas akademika dikerahkan pada pada mata pelajaran yang dievaluasi dalam UN saja sehingga menjadi tereduksi.

“Meskipun kurikulum disusun sedemikian rupa, tapi untuk semester akhir tiap jenjang, semua upaya dikerahkan untuk mapel (mata pelajaran) UN. Sehingga pandangan terhadap pendidikan menjadi tereduksi,” ujar Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Di samping sebagai alat penentu keberhasilan pendidikan, UN juga menjadi salah satu penentu kelulusan siswa. Hal ini, kata Zuhdi, sebenarnya bagus buat mempersiapkan mereka untuk lebih kompetitif. Tetapi sayangnya banyak siswa, orangtua, dan guru tidak melihat UN sebagai tantangan agar siswa pintar, melainkan tantangan untuk memperoleh hasil UN yang tinggi.  

“Inilah yang menyebabkan banyak perilaku tidak fair (adil),” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, kalaupun dilakukan secara fair, pemilihan beberapa mata pelajaran untuk UN membuat guru melakukan drill (latihan) soal-soal UN kepada siswa dan orangtua siswa mengirimkan anak ke lembaga bimbingan belajar (bimbel) khusus untuk mempelajari lebih mendalam mata pelajaran UN. 

“Bahkan, sekolah mengenyampingkan mata pelajaran lain untuk dipelajari oleh siswa kelas 6, 9, dan 12. Semua fokus pada mapel UN sehingga kurikulum pun tidak efektif,” ujar alumnus Pondok Pesantren Al-Masthuriyah Sukabumi, Jawa Barat itu.

Meskipun demikian, Zuhdi menyampaikan bahwa evaluasi terhadap hasil belajar siswa harus tetap ada, tetapi dengan catatan harus dilakukan secara komprehensif, menyeluruh ke segala aspek pendidikan dan pembelajaran.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Muchlishon