Nasional

Pembentukan Karakter Gen Z Dimulai dari Keluarga hingga Lingkungan

Sel, 2 April 2024 | 07:00 WIB

Pembentukan Karakter Gen Z Dimulai dari Keluarga hingga Lingkungan

Sejumlah narasumber sedang memaparkan materi dalam talkshow spesial Ramadhan bertema Personal Branding Gen Z Tetap Islami di Masjid An-Nahdlah PBNU, Jakarta pada Senin (1/4/2024). (NU Online/Suci A)

Jakarta, NU Online
Ustadzah Imaz Fatimatuz Zahra menyoroti pentingnya peran orang tua, guru, dan lingkungan dalam membentuk karakter Gen Z atau zoomer.


Menurut ustadzah yang akrab disapa Ning Imaz ini, kasih sayang yang konsisten dan dukungan dalam proses pencarian jati diri merupakan hal yang vital dalam perkembangan anak. Pasalnya setiap manusia butuh proses yang perlu dukungan dari tiga elemen itu (orang tua, guru, dan lingkungan).


"Dari awal mulai dia lahir, kemudian diberikan lingkungan yang baik, diberikan kasih sayang yang cukup sehingga itu akan menjadi pondasi pembentukan karakter anak," katanya saat mengisi talkshow spesial Ramadhan bertema Personal Branding Gen Z Tetap Islami.


Kegiatan ini digelar oleh Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) bekerja sama dengan Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Masjid An-Nahdlah PBNU, Jakarta, Senin (1/4/2024).


Menurut Ning Imaz, ketika kasih sayang yang didapat cukup, maka anak tersebut akan memiliki rasa kepercayaan diri lebih karena punya orang tua yang menjadi support system.


"Jika support system orang tua atau keluarga sudah didapatkan si anak, penting untuk memilihkan lingkungan yang positif atau memberikan sirkel positif untuk anak," katanya.


Harus diakui, anak muda yang masih berusia belasan tahun terkadang lebih suka berkiblat pada teman sebayanya daripada nasihat orang tua. Oleh karena itu, penting bagi orang tua memberikan lingkungan yang tidak menjerumuskan, misalnya dimulai dari mencari sekolah yang baik.


"Penting mempersiapkan lingkungan yang baik untuk anak karena lingkungan adalah tempat kedua. Jadi, sekolah dan teman adalah seperti keluarga kedua. Itu penting disiapkan dan diwadahi dengan baik supaya anak-anak tidak kehilangan arah, tidak salah pergaulan, ke depan jadi anak lebih baik," jelasnya.


Selanjutnya, membekali anak dengan ilmu. Ning Imaz menyebut, anak-anak harus dibiarkan untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan jenjangnya, apalagi anak yang masih dalam proses mencari jati diri perlu dibersamai.


Pola asuh Ali bin Abi Thalib 
Ning Imaz mengulas prinsip-prinsip pola pengasuhan Islam, menyoroti bagaimana mendidik anak-anak agar memiliki karakter yang kuat dan teguh dalam menghadapi tantangan zaman. Dia memaparkan parenting (pola asuh) Ali bin Abi Thalib.


Pertama, kelompok tujuh tahun pertama (0-7 tahun) perlakukan anak sebagai raja. "Tujuh tahun pertama anak-anak seperti halnya raja. Jadi kita yang melayani dia dan memberikan kebutuhan dia," terang Ning Imaz.


Kedua, kelompok tujuh tahun kedua (7-14Tahun) memperlakukan anak sebagai tawanan. Orang tua mendidik anak seperti halnya orang yang perlu dididik dengan kedisiplinan atau pembentukan karakter.


"Kita berkonsekuensi atas sikap pelanggaran yang mungkin dia lakukan. Kita berikan aturan yang harus konsisten tidak boleh membingungkan. Supaya anak bisa paham terhadap aturan tersebut," jelasnya.


Ketiga, kelompok tujuh tahun ketiga (14-21 tahun) memperlakukan anak sebagai sahabat. Ning Imaz mengungkapkan penting posisikan anak seperti teman. Supaya dia mau cerita, dekat dan terbuka dengan orangtua, bisa lebih mengontrol pergaulan   baik atau tidak.


"Pada usia tersebut anak-anak jangan sering dihakimi, dimarahi. Justru sering didengarkan, dengan itu maka anak mau terbuka dan mencurahkan masalahnya. Tidak perlu mencari orang lain supaya menjadi tempat curhat," kata Ning Imaz.


"Dari sini kita bisa mengontrol anak kita, tahu dan paham apa yang dibutuhkan dan diresahkan anak kita. Kita bisa mengarahkan menjadi anak yang punya mental baik dan siap menghadapi tantangan zaman," ujarnya.


Ning Imaz menekankan pentingnya membekali anak-anak dengan karakter dan prinsip yang kokoh, serta ilmu yang mumpuni. Sebagaimana ajaran Sunan Kalijaga "Kita boleh mengikuti arus, tapi jangan terbawa arus."


"Sehingga dalam menghadapi dunia meskipun mengikuti arus, si anak tetap memiliki prinsip yang dia pegang teguh yaitu prinsip dalam beragama, bermoral, melakukan sesuatu asasnya kebaikan dan kemaslahatan," ucap Ning Imaz.


Persiapkan sebelum menikah 
Penekanan yang sama disampaikan Gus Rifqil Muslim Suyuthi. Menurutnya, membimbing anak agar jadi shalih shalihah tidak dimulai ketika anak baru lahir tapi dipersiapkan sejak sebelum menikah.


Mengutip nasihat Almaghfurlah Kiai Maimoen Zubair, laki-laki bagaikan benih dan perempuan bagaikan sawah. Untuk menghasilkan panen yang baik maka bapak dan ibu harus baik pula.


"Ini berpengaruh pada anak karena salah satu tujuan menikah adalah menghasilkan generasi berkualitas. Generasi emas bisa tercapai dimulai dari sejak itu," ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Hikmah Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah itu.


"Membentuk kualitas generasi Z dimulai dari awal dan perlu dibimbing dari orang terdekatnya yakni orang tua, pesantren atau lembaga mana pun yang sanadnya jelas menyambung kepada Rasulullah," pungkasnya.