Nasional

Peneliti BRIN Ungkap Toleransi Ala NU Berevolusi 

Sen, 16 Oktober 2023 | 12:30 WIB

Peneliti BRIN Ungkap Toleransi Ala NU Berevolusi 

Bendera NU raksasa dibentangkan oleh Nahdliyin di stadion Delta Sidoarjo pada perayaan 1 Abad NU, Selasa (7/2/2023). (Foto Ilustrasi: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri mengungkapkan bahwa konsep toleransi ala Nahdlatul Ulama atau NU adalah bentuk toleransi yang berevolusi. Pandangannya ini menyoroti pentingnya pemahaman toleransi yang berkelanjutan dalam konteks perkembangan sosial dan budaya di Indonesia.

 

‘Toleransi NU itu memang real. Menjadi catatan bahwa toleransi tidak selalu sama kuatnya, tidak selalu sama bentuknya, tetapi dia mengalami evolusi,” kata dia dalam Seminar Internasional peringatan Harlah ke-6 PCI Muslimat NU Jepang “Toleransi Versi NU dan Pendidikan Lingkungan Hidup dengan Pendekatan Games” pada Ahad (15/10/2023).

 

Ia menilai NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia, sangat mengedepankan sikap toleransi. Hal ini ditinjau dari 4 pokok dasar prinsip NU, salah satu yang ditekankan adalah tasamuh atau yang secara sederhana diartikan sebagai memelihara toleransi.

 

“Kemudian mengkaji salah satu hal yang juga sangat penting, dan disebut berulang-berulang disampaikan kiai maupun pendidikan (kaderisasi) internal, terkait pentingnya bentuk relasi sosial di dalam NU. Dan ini menjadi wujud bagaimana membangun toleransi. Dari basis organisasinya sudah menunjukkan ada unsur toleransi yang dianggap penting,” jabar dia.

 

Meski demikian, perempuan yang tengah menempuh studi S3 di CSEAS Universitas Kyoto itu melihat bahwa toleransi NU tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Kekuatan toleransi NU tidaklah sama dari waktu ke waktu, melainkan berevolusi. Hal ini ia tinjau berdasarkan hasil Muktamar NU dari tahun 1995 sampai dengan 2015.

 

“Nah tapi, perlu diperhatikan lebih detail kalau melihat organisasi NU bertoleransi, toleransinya itu tidak selalu sama di setiap periode. Sifatnya dinamis, dan kekuatan toleransi itu tidak sama dari satu waktu ke waktu yang lain. Saya melihat hasil Muktamar dari tahun 1954 sampai yang terakhir di 2015,” papar dia.

 

Menurutnya, toleransi NU berevolusi dalam 3 tahap. Pada 1954, ia melihat wujud toleransi ala NU berupa pengakuan dan penghormatan terhadap pluralitas. Lalu, pada 1979 sikap toleransi NU berupa penekanan pada pentingnya toleransi di dalam masyarakat (toleransi menjadi prinsip organisasi). Kemudian pada 1999, sikap toleransi tersebut diperkuat dengan mengadopsinya menjadi program NU.

 

“Yang pertama dari 1950-an lebih terbatas pada pengakuan adanya pluralitas. Jadi misalnya statement bahwa NU mengakui adanya keragaman NU mengakui adanya kelompok beragama lain, dan lain-lain. Intinya, menghargai eksistensi kelompok yang berbeda,” tutur dia.

 

“Begitu masuk tahun 1979, penekanannya lebih kuat lagi pada toleransi. Penekanan pada toleransi sebagai konsep untuk menghargai setelah mengakui kemudian menghargai. Lebih lanjutnya lagi pada tahun 1999 yang langsung real lagi kepada program. Jadi, toleransi ini masuk kepada program, tidak hanya sebagai gagasan dan wacana, narasi,” tutupnya.