Nasional

Peneliti Kemenag: Laman Radikal Lebih Sulit Diblokir Ketimbang Situs Porno

Kam, 25 November 2021 | 22:30 WIB

Peneliti Kemenag: Laman Radikal Lebih Sulit Diblokir Ketimbang Situs Porno

Peneliti Puslitbang BALK Balitbang Diklat Kemenag Abdul Jamil Wahab (insert) saat memaparkan hasil penelitian. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kemenag Abdul Jamil Wahab mengatakan, situs bermuatan ajaran dan paham radikal lebih sulit diblokir ketimbang menutup situs yang menampilkan pornografi. 


Hal tersebut dikatakan Jamil dalam Seminar Hasil Penelitian Isu-isu Aktual Bimas Agama di Hotel Ibis Style, Jakarta Pusat, Kamis (25/11/2021) malam. Pasalnya, situs radikal tidak komersial dan relatif lebih tersembunyi. Sebab, kata kuncinya tidak mudah dicari.


“Upaya pemblokiran itu sudah dilakukan sejak lama oleh Kominfo. Tetapi, tetap tidak berpengaruh lantaran mereka menggunakan kata kuci yang sulit dicari. Misalnya, kata jihad ditulis dengan J1h4d, lalu bom dengan B0m,” kata Jamil, sapaan akrabnya.


Unsur anonimitas itulah yang menurut dia membuat perang melawan teror di dunia maya menjadi semakin sulit. Pemerintah juga memiliki kesulitan untuk memonitor, termasuk menutup situs maupun akun media sosial yang menebar paham radikal. 


“Pemerintah telah banyak menutup situs media online yang mengandung konten ektrimisme. Namun, dengan mudahnya media-media tersebut kemudian tumbuh Kembali menggunakan akun baru,” beber Jamil. 


Doktor jebolan Institut PTIQ Jakarta ini menyebutkan, menghapus atau take down konten radikalisme bukan perkara sulit. Durasi penghapusan konten hanya berkisar 5-10 menit. Akan tetapi, konten ini sulit dilacak bila tidak ada kerja sama dari masyarakat dan instansi lain.


“Akan sangat sulit kalau yang diminta menemukan hanya segelintir institusi. Karenanya, tidak hanya sanksi dan penutupan situs media online, masyarakat perlu dicerdaskan dalam menerima informasi dari media,” terang Jamil.


Pria asal Cirebon, Jawa Barat ini menyarankan, selain literasi media, media online juga perlu lebih banyak mengunggah konten-konten dengan berbagai konten damai, dan ujungnya adalah meningkatkan daya tahan masyarakat dari pengaruh paham radikal terorisme yang disebarkan melalui media daring tersebut.


Kebijakan kontra narasi online, lanjut dia, bertujuan memerah-putihkan dunia maya sebagai wahana informasi dan pengetahuan yang penuh pesan-pesan penguatan kebangsaan dan cinta NKRI. Program kontra narasi online juga bertujuan memoderasi dunia maya sebagai ruang pengetahuan dan informasi yang berisi dengan pengetahuan damai, toleran, inklusif, dan terbuka.


“Secara sederhana, kontra narasi ekstremisme kekerasan adalah upaya sistematis untuk melawan pengaruh konten ekstremisme kekerasan di media internet dan menggantinya dengan konten damai,” jelas penulis buku Harmoni di Negeri Seribu Agama itu.


Melansir situs resmi kominfo.go.id dilaporkan per 3 April 2021, terdapat 20.543 konten terindikasi terorisme di media sosial. Hingga kini, pemerintah masih aktif melakukan literasi digital agar masyarakat dapat memilah informasi dan terhindar dari konten radikalisme.


Aktivis LPBI PBNU ini menambahkan, penelitian tersebut dilakukan di beberapa kota di Jawa dan Sumatra. Asumsinya, masyarakat di kota-kota tersebut banyak yang mengakses media daring. Adapun kota-kotanya adalah: Serang, Tangerang, Tangerang Selatan, Bandung, Bogor, Cirebon, Semarang, Solo, Jogjakarta, Surabaya, Malang, Medan, Palembang, Padang, dan Lampung.


Dalam seminar hasil penelitian ini, dua narasumber diundang untuk memberi masukan dan tanggapan atas isu aktual di media daring, yakni Farhan Muntafa (LP3P Universitas Indonesia) dan Redaktur Pelaksana NU Online Mahbib Khoiron. Acara ini diagendakan tiga hari, Kamis-Sabtu, 25-27 November 2021.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori