Nasional

Penjelasan di Balik 70 Persen Istri Gugat Cerai Suami

Jum, 16 Maret 2018 | 15:00 WIB

Penjelasan di Balik 70 Persen Istri Gugat Cerai Suami

ilustrasi: perfectmuslimwedding.co

Jakarta, NU Online 
Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI mengemukakan, angka perceraian di Indonesia masih sangat tinggi. Tiap tahun trennya terus meningkat. Pada 2016 misalnya, perceraian terjadi pada sekitar 350.000 pasangan. Data lainnya adalah, sekitar 70 persen perceraian diajukan pihak istri.  

Menurut Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Alissa Wahid, data tersebut tidak bisa dibaca bahwa perempuan lebih mudah meminta cerai dibanding suami. Tapi, data tersebut harus dibaca, sekitar 70 persen perempuan mengalami permasalahan dengan pasangannya. 

“Jadi, kalaupun benar data 70 persen gugat cerai dari istri, data itu kita harus baca, bukan istri lebih permisif, tapi ketahanan keluarga yang lemah. Ya suami dan istri itu,” jelas Alissa, ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (15/3). 

Lebih lanjut Alissa mengatakan, zaman dulu, banyak perempuan tidak memilih bercerai karena tidak bisa mencukupi nafkah sendiri, jadi terpaksa bertahan dalam situasi broken home. Tidak sedikit pula perempuan memilih bertahan karena stigma jelek kepada para janda. Pada saat yang sama, para duda tidak mendapartkan stigma buruk. 

Saat ini, lanjutnya, banyak perempuan sudah terdidik, sudah mampu mencari nafkah. Tidak bergantung pada suami. Masyarakat saat ini adalah masyarakat yang egaliter. Hubungan dibangun dengan asas keadilan. Dan ini sesuai dengan misi kenabian: mendorong tatanan masyarakat yang lebih adil.

“Karena itu saat ada pihak yang merasa diperlakukan tidak adil, dia dapat mengajukan cerai. Tantangannya adalah bagaimana agar pasutri tidak mudah menyerah. Mampu mengelola hubungannya.”

Menurut Alissa, keberhasilan gerakan keadilan gender itu bukan diukur dari perceraian. Justru dikatakan berhasil kalau ketahanan keluarga meningkat, karena berarti k pasutri mampu membangun hubungan yang berperspektif keadilan dan kesalingan. (Abdullah Alawi)