Jakarta, NU Online
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Karakter dan sikap keberagamaan umat lslam di republik ini juga berbeda dengan muslim di wilayah lain. Misalnya, kawasan Timur Tengah, Asia Selatan atau Afrika, yang kesemuanya masih kalah dalam jumlah.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi ‘Pemetaan Pemikiran Politik Ulama Nusantara’ yang diinisiasi Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi Balitbang Diklat Kemenag RI di Hotel Sofyan Betawi, Jl Cut Meutia No 9 Menteng Jakarta, Selasa (6/6).
Kepala Puslitbang Lektur, Choirul Fuad Yusuf, dalam arahannya menyatakan pentingnya penulisan Ensiklopedi Pemikiran Politik Ulama Nusantara. Pasalnya, meski dengan jumlah penduduk muslim mayoritas, Indonesia tidak menjadi negara Islam atau menjadikan Islam sebagai dasar negara.
“Tetapi justru Pancasila sebagai hasil renungan dan refleksinya. Keputusan bangsa ini tentu bukan berarti tak memiliki pijakan historis dan dialektis tentang pemikiran politik, khususnya politik kenegaraan. Tetapi justru melalui pergumulan pemikiran yang terus berlangsung hingga hari ini,” ujar Fuad.
Adik kandung tokoh NU Slamet Effendi Yusuf ini menambahkan, dalam pemikiran politik kenegaraan, bahkan terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Pemikiran politik kenegaraan mulai Wali Songo di Jawa hingga Tuanku Imam Bonjol di Sumatera membuktikan bahwa Nusantara tak kosong dari pergumulan pemikiran seperti juga terjadi di negara lain.
“Pada awal kemerdekaan, para pemikir politik kenegaraan seperti Cokro Aminoto, Bung Karno, Bung Hatta, Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim, telah menghiasi pergumulan tersebut. Lalu KH Achmad Shiddiq dan Gus Dur hingga yang paling modern seperti digagas Cak Nur. Kesemuanya diwarnai politik Islam. Inilah alasan wajib penulisan ensiklopedi ini,” paparnya.
Diskusi yang dimoderatori Nurman Kholis ini menghadirkan para akademisi dari berbagai kampus. Dekan FISIP UIN Jakarta, Prof Dr Dzulkifli, yang didaulat sebagai narasumber memberi catatan bahwa Pemikiran Politik Ulama Nusantara tidak hanya menyangkut sejumlah konsep dalam teori politik Barat modern seperti pemerintahan dan negara.
“Namun menyangkut juga etika para pemimpin dan yang dipimpin. Pemikiran Politik Ulama Nusantara tidak bisa dipahami hanya semata berdasar teori politik Barat. Jadi, harus dipahami berdasarkan integrasi antara yang sakral dan profan,” ujar Dzulkifli.
Selaku koordinator kegiatan, Nurman Kholis menyebut tujuan penulisan ensiklopedi ini antara lain memperkenalkan pemikiran politik kenegaraan Ulama Nusantara secara komprehensif, menjadi sumber informatif bagi masyarakat tentang pemikiran politik kenegaraan Indonesia, dan menunjukkan kreativitas muslim Indonesia pada dunia.
Ensiklopedi ini, kata Nurman, akan ditulis dengan entri-entri terpisah agar mudah dipahami masyarakat. Buku yang disusun berdasar entri terpilih tersebut akan disusun secara periodik, bukan alfabetis agar pembaca memahami kronologi pemikiran para ulama.
“Para ulama dan ahli di bidang ini akan kami undang sebagai kontributor tulisan. Kami berharap ensiklopedi ini nantinya menjadi media kajian lebih lanjut tentang pemikiran politik kenegaraan di Indonesia,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Fathoni)